Jumat, 05 Januari 2018

Bad Dreams

Hasil gambar untuk cover bad dream fear street


PROLOG
"JANGAN... jangan..."
Gadis itu berguling-guling gelisah di ranjang besar berkanopi, mulutnya bergumam tidak jelas dalam tidurnya. "Oh, jangan... pergi!"
Kalau saja dia bisa terjaga. Kalau saja dia bisa membuka matanya, dia akan selamat. Aman di tempat tidurnya, aman di rumahnya di Fear Street.
Tetapi dia tidak bisa terjaga.
"Jangan... jangan..." Erangannya semakin keras.
"JANGANNNN!"
Tiba-tiba, gadis itu terduduk tegak, benar-benar terjaga. Dia bergidik, mulutnya megap-megap sulit bernapas. Sambil menarik penutup tempat tidur, dia memandang sekeliling kamar tidur yang gelap dan tak asing baginya.
Tak ada siapa-siapa di sini. Hanya mimpi buruk.
Hanya mimpi buruk. Dia mengulangi kalimat itu berkali-kali, seperti menyenandungkannya.
Dari ranjangnya, dia bisa melihat ke luar jendela. Dia mengintip ke luar, ke malam musim gugur yang dingin. Pohon maple tua bergetar ditiup angin sedingin es, daun-daunnya yang masih tersisa berguguran. Lewat sela ranting-rantingnya yang telanjang, dia bisa melihat lampu jalan. Cahayanya yang kekuningan membuat suasana semakin seram.
Dia merebahkan diri dan membaringkan kepalanya di bantal-bantal yang basah dengan keringat. Rambutnya yang pirang panjang lengket menempel di kepalanya.
Sebaiknya aku tak tidur lagi, katanya pada diri sendiri. Dia mendesah pelan, merasa lebih enak sekarang. Dipejamkannya matanya.
Saat itulah dia merasakan kehadiran sosok lain.
Dia merasa tidak sendirian di kamar itu.
Matanya terbuka kembali. Seumur hidup, belum pernah dia merasa setegang itu.
Apa yang membuatnya sangat yakin bahwa ada seseorang di kamarnya?
Dia tidak tahu.
"Siapa?" bisiknya.
Tidak ada jawaban. Pelan-pelan dia duduk, sambil mencengkeram seprai. Dia melotot memandangi pojok-pojok kamar yang gelap, mengamati bayang-bayang.
Kemudian dia melihatnya.
Setitik cahaya di pojok sana.
Dia membuka mulut hendak bicara tetapi kengerian membuatnya gagu. Sekarang dia bisa melihat sosok manusia yang bersembunyi di pojok kamarnya.
Dia mendengar geram penuh marah.
Kemudian kegelapan meledak. Gadis lain itu menerjangnya cepat sekali, membuatnya tak punya kesempatan untuk bereaksi.
Pisau itu terayun.
Serangan pertama luput. Dia melawan habis-habisan, mencoba menghindar.
Tetapi dia terbelit penutup tempat tidur, sementara gadis itu menindihnya.
"Hei...!" dia memprotes, mencoba mendorong gadis itu. "Tapi kau adikku!"
Dia ingin menjerit, tetapi napasnya tercekik.
Dipaksanya menegakkan tubuhnya, tetapi penyerangnya menindihnya lagi. Kali ini malah membenturkan kepalanya ke kepala ranjang.
Sesaat semuanya gelap pekat.
Kemudian dia merasakan nyeri yang tajam menusuk.
Lagi.
Lagi.
Dan kegelapan menyerbunya dari segala arah.
Dalam kamar yang hening mengerikan itu, tak sesuatu pun bergerak kecuali kanopi yang bergetar di atas ranjang.
Chapter 1
MIMPI buruk Maggie Travers mulai mengganggunya pada malam ketika pertama kali dia tidur di ranjang berkanopi itu.
Ranjang itu hanya salah satu kejutan yang menunggu Maggie dan keluarganya di rumah baru mereka di Fear Street.
Sebelumnya, sulit sekali bagi keluarga Travers untuk menemukan rumah itu.
Maggie memandang peta di pangkuannya, mencoba menelusuri rute ke Fear Street dengan telunjuknya. Dia menyelipkan beberapa helai rambutnya yang merah panjang ke balik telinganya. Berkali-kali rambut itu tergerai lagi. "Rasanya kita harus belok kiri di sini," katanya pada ibunya.
Mrs. Travers mengurangi kecepatan, mobil merayap pelan. Dia memandang kaca depan, ke suasana sore yang cerah di musim semi. "Kau yakin?"
"Tidak, dia tidak yakin," Andrea menggerundel dari belakang. "Aku sudah bilang, Ma—seharusnya kita belok kanan di Canyon Road tadi. Tapi, tidaaaaak, Maggie bilang kita lurus saja, jadi Mama tidak belok. Ini benar-benar konyol!"
Maggie diam saja. Dia tidak mau bertengkar dengan adiknya. Memulai pertengkaran dengan Andrea memang hal yang paling gampang dilakukan di dunia. Menghindari pertengkaran dengan Andrea—itu namanya baru sulit.
Gus, anjing retriever berbulu keemasan milik Maggie, duduk di belakang bersama Andrea. Anjing itu menjulurkan kepalanya ke luar jendela. Dia menggeram, rendah dan memelas.
Maggie melirik kaca di sampingnya. Gus memasang tampang memelas, seperti biasa jika bepergian naik mobil. Aku tahu bagaimana perasaanmu, bisik Maggie dalam hati.
Hari itu Sabtu. Hari untuk pindah rumah akhirnya tiba. Kami sudah salah langkah sejak awal, pikir Maggie murung.
Seharusnya mereka mengikuti van raksasa bercat putih yang mengangkut barang-barang mereka. Tetapi Andrea memaksa mereka singgah di 7-Eleven untuk membeli Coke. Mereka kehilangan jejak van itu, Maggie salah membaca peta, dan sekarang mereka berputar-putar di jalan-jalan yang bersilangan, dan akhirnya memutar ke kawasan utara kota, menuju hutan Fear Street selama hampir...
Maggie melirik jam tangannya. Jam tiga lebih sepuluh! Sekarang sudah terlambat untuk ikut latihan. Cewek-cewek anggota tim renang Shadyside High pasti bertanya-tanya, di mana mereka sekarang.
"Kita terlambat, tak bisa ikut latihan," katanya pada adiknya.
Andrea memutar-mutar bola matanya. "Tentu saja!" gumamnya sengit.
"Kalau saja kita bertemu seseorang yang sedang jalan-jalan," kata Mrs. Travers, dengan gugup tangannya menyisiri rambutnya yang abu-abu kemerahan. "Kita bisa tanya, di mana kita sekarang."
"Kita tersesat," kata Andrea. "Itulah, kita tersesat. Gara-gara Nona Sok Tahu."
"Seharusnya kita tetap di belakang van itu," Maggie mengingatkan adiknya dengan suara setenang mungkin.
"Apa hubungannya?" tukas Andrea ketus.
Maggie mendesah. Sepertinya Andrea memang cari gara-gara, tak peduli dia yang salah. "Dengar," kata Maggie, "maksudku, ini bukan salahku. Jelas?"
"Siapa bilang kita harus lurus?" tuntut Andrea. "Gus?"
Maggie pura-pura tidak peduli, tapi darahnya mulai mendidih. Selalu begini. Tak peduli berapa kali dia menasihati dirinya agar jangan membiarkan Andrea membuatnya marah, selalu saja dia terpengaruh.
Maggie mencoba menyorongkan peta jalan yang besar kepada adiknya. "Kau mau gantiin?" tanyanya. "Nih. Kalau kaupikir kau bisa melakukannya lebih baik, silakan."
"Tidak. Terima kasih," gerutu Andrea. "Aku yakin aku takkan bisa melakukannya sebaik kau. Kau selalu lebih baik."
"Kalau begitu..." Maggie memulai.
Mrs. Travers memelototi putrinya yang lebih besar. "Maggie," katanya. "Sudahlah."
Maggie merasa wajahnya memanas. Sepertinya Mrs. Travers selalu menyuruhnya mengalah pada Andrea. Selalu menjelaskan bahwa bagi Andrea ini pasti lebih berat dibandingkan dengan yang dirasakan Maggie.
Umur Maggie tujuh belas, Andrea enam belas. Tapi menilik sikap ibu mereka, orang akan mengira umur Andrea baru lima tahun.
Maggie melirik adiknya yang sedang memandang ke luar jendela sambil terus menggerundel. Dagunya mencuat ke depan, begitu kalau dia sedang kesal. Maggie merasa kemarahannya mereda, sekarang dia justru kasihan. Mama benar. Dia harus bersikap lebih sabar pada Andrea.
Rambut mereka sama merahnya, mata mereka sama hijaunya. Dia dan Andrea sangat mirip. Tetapi ciri-ciri sama yang membuat Maggie cantik—mata hijau, rambut merah, tulang pipi tinggi—justru sama sekali tidak serasi bagi Andrea.
Maggie jangkung dan langsing; Andrea lebih pendek, dengan bahu lebih lebar yang membuatnya tampak kekar. Selain itu, rambut Maggie panjang, ikal, dan lebat. Rambut Andrea yang sebahu itu tipis, lurus, lepek tak bisa ditata, betapapun dia sudah berusaha keras.
Penampilan bukan satu-satunya kelebihan Maggie. Dia selalu selangkah lebih baik dibandingkan adiknya, dalam hal apa pun—nilai, olahraga, cowok.
Itu jelas sekali, pikirnya prihatin. Kepindahan mereka merupakan beban berat bagi Andrea, lebih berat dibandingkan bagi anggota keluarga lainnya.
Bagaimanapun, Andrea tidak pernah populer di sekolah. Satu-satunya kenyataan yang dibangga-banggakannya adalah dia dibesarkan sebagai gadis North Hills.
North Hills merupakan kawasan paling eksklusif di Shadyside. Andrea menyukai status North Hills. Dia suka main di country club. Maggie merasa tidak enak ketika ingat bagaimana Andrea dan gengnya selalu menghina dan melecehkan anak-anak dari kawasan lain kota itu.
Hmm, sekarang mereka meninggalkan North Hills. Dan semua anak yang pernah dilecehkan Andrea pasti akan tertawa di balik punggungnya.
Aku takkan bertengkar lagi dengan adikku, Maggie mengingatkan dirinya sendiri. Aku takkan bertengkar, pikirnya, seakan otaknya adalah papan tulis dan dia sedang dihukum menulis kalimat yang sama berkali-kali.
Maggie masih merasa bersalah. Perasaan itu selalu muncul setiap kali dia bertengkar dengan Andrea.
Dia bertengkar dengan Andrea pada hari meninggalnya ayah mereka.
Konyol sekali. Pagi itu mereka kehabisan susu untuk teman makan sereal.
Andrea menyalahkan Maggie yang menghabiskan susu itu malam sebelumnya. Maggie membantah dan bilang dia tidak menyentuh susu itu. Kemudian Andrea menuduhnya berbohong.
Mereka bertengkar sengit. Maggie mengutik-utik kesalahan yang dilakukan Andrea sekian tahun lalu. Seperti waktu Andrea umur tujuh dan membakar rambut boneka Barbie kesayangan Maggie.
Kemudian Andrea berteriak-teriak dan mengata-ngatai Maggie, menuduhnya telah menghancurkan hidupnya. Andrea melontarkan tuduhan yang tidak masuk akal, bahwa kakaknya merebut semua cowok yang diincarnya.
Waktu itu, mereka saling memaki dan Andrea menangis. Kemudian Mr. Travers menyuruh Maggie berhenti memaki-maki adiknya. Maggie kesal sekali dan membanting mangkuk serealnya ke lantai.
Itu salah satu ketidakadilan yang sangat membekas di hati Maggie. Andrea boleh menangis keras-keras, menjerit-jerit, memecahkan piring, apa saja. Orang lain diharap maklum.
Tapi, jika Maggie marah sedikit saja, orangtuanya akan bereaksi seakan rumah mereka nyaris meledak.
Begitu membanting mangkuk serealnya, Maggie langsung malu.
Wajah ayahnya merah padam. "Dad bosan mendengar pertengkaran kalian!" teriak Mr. Travers. "Maggie, bersikaplah dewasa."
Kemudian ia mendorong kursinya ke belakang, melemparkan koran yang tadi dibacanya, lalu cepat-cepat keluar rumah.
Itulah terakhir kalinya Maggie melihat ayahnya.
Sore itu, Mr. Travers mendapat serangan jantung di kantornya. Dia sedang duduk di kursinya. Ketika sekretarisnya menemukannya, Dia sudah meninggal.
Aku tak pernah punya kesempatan untuk mohon maaf, pikir Maggie pahit.
***********
Mereka masih berada di perempatan jalan. "Hmm," kata Mrs. Travers sambil mendesah, "kita harus mencoba sesuatu." Dia membelok ke kiri.
"Pasti Mama menuruti omongan Maggie," Andrea mengomel.
Gus menyalak dua kali.
"Benar, Gus," kata Mrs. Travers, "ingatkan mereka." Kepada kedua putrinya, dia menambahkan, "Gus menyuruh kalian berhenti bertengkar."
Mau tak mau Maggie dan Andrea tersenyum. Keyakinan ibu mereka akan kebijaksanaan binatang sudah terkenal di keluarga Travers.
Kotak surat keluarga Travers selalu penuh dengan surat-surat dari berbagai kelompok pencinta binatang yang pernah dikirimi uang oleh Mrs. Travers. Dia selalu menceritakan pikiran Gus kepada mereka.
"Kuharap kita tak semakin dekat ke rumah kita yang baru," gumam Andrea sambil memandang ke luar jendela. "Tolong katakan, kita takkan tinggal di kawasan ini."
Andrea benar, pikir Maggie. Rumah itu tampak jelek pada hari Mom mengajak mereka melihatnya. Namun hari itu hujan, dan mereka pikir hujan membuat rumah dan lingkungan itu kelihatan suram.
Entah bagaimana, sinar matahari yang cerah hari ini justru membuat lingkungan di situ tampak lebih suram. Semua rumah seharusnya dicat ulang. Semua rumah kelihatan tua dan reyot.
"Selamat datang di kota perampok," Andrea bercanda, menirukan suara pemandu wisata. "Penduduk kawasan ini bangga karena tingkat kriminalitas di sini adalah yang tertinggi di seluruh negara bagian."
Maggie tertawa, tetapi jantungnya berdesir. Ingatan akan perampok selalu membuatnya ngeri, bahkan ketika mereka masih tinggal di North Hills, yang nyaris tidak pernah ada perampokan.
Mrs. Travers mengerutkan dahi. "Aku tahu ini bukan kawasan terbaik di kota ini, anak-anak," katanya, "tapi inilah yang terjangkau oleh kita sekarang." Dia memaksa diri untuk tersenyum. "Bagaimanapun, kita punya Gus untuk melindungi kita."
Benar, pikir Maggie. Kalau ada perampok, Gus pasti langsung menyerangnya. Namun satu-satunya serangan yang akan dialami si perampok hanyalah jilatan lidah Gus yang membuatnya lari terbirit-birit karena jijik!
"Lihat!" seru Maggie tiba-tiba, jarinya menuding papan penunjuk jalan bercat hijau yang dipasang di perempatan. "Fear Street! Kita sudah sampai! Kita tak tersesat!"
Mrs. Travers bersorak. Maggie lega sekali. Hatinya gembira sampai dia melihat rumah itu. Rumah nomor 23 di Fear Street kelihatan lebih bobrok dan mengenaskan dibandingkan ketika terakhir kali mereka lihat. Dua jendela bercat hijau kini tergantung pada engsel-engselnya yang berkarat. Halaman penuh lubang-lubang besar berisi air cokelat menjijikkan. Secara keseluruhan, rumah itu menyeramkan.
Maggie bergidik.
Van besar bercat putih itu diparkir di depan. Orang-orang lalu lalang mengangkuti perabotan ke dalam rumah. Maggie memperhatikan dua lelaki kekar mengenakan seragam hijau menghilang di balik pintu depan, mencoba memasukkan meja riasnya. Dia ingin meneriaki mereka dan menyuruh mereka mengangkut semuanya kembali ke North Hills. Tapi, inilah rumah mereka sekarang.
Mrs. Travers memutar duduknya, menghadap kedua putrinya. Dia tersenyum, tetapi di balik senyum itu Maggie melihat kecemasan.
"Anak-anak," katanya, "Mom tahu rumah ini menyedihkan, tapi kalau kita sudah punya uang lebih banyak, kita bisa memperbaiki dan mengecatnya serta menanami halamannya dengan bunga. Pasti akan indah. Lihat saja nanti. Di samping itu, pasti asyik merapikan dan memperbaikinya."
Maggie memaksa diri tersenyum. Ia tahu kepindahan itu juga berat bagi ibu mereka. "Nah," kata Maggie, sambil bertepuk tangan, "ayo kita mulai."
Ia turun dari mobil lalu meregangkan badannya. Gus memukul-mukulkan ekornya di tempat duduk belakang, mengawasi setiap gerakan Maggie. "Tunggu sebentar, Gus," katanya.
Mrs. Travers melambai pada orang-orang yang mengangkut barang itu. "Kami tersesat sebentar," teriaknya.
Orang-orang itu malahan tidak memedulikannya. "Mom," kata Maggie, sambil menyentuh lengan ibunya, "mana kunci bagasi?"
Mereka membawa pakaian dan barang berharga mereka dengan mobil itu. Maggie memasukkan anak kunci ke lubang, membuka
bagasi, lalu mulai menurunkan koper-koper. Dia menarik keluar tas hijaunya dan dengan hati-hati meletakkannya di trotoar.
Gus menyalak-nyalak seperti anjing gila. Andrea bersandar ke mobil, memandang langit. "Andrea, tolong bantu, sini," kata Mrs. Travers dengan tajam.
Sambil cemberut Andrea mendekat lalu memilih tas yang paling kecil dan paling ringan. Ia langsung mencampakkannya ke trotoar. "Oh, kasihan Gus," katanya sambil membuka pintu mobil. "Kau bisa mati kepanasan di dalam situ."
"Tunggu, Andrea, jangan," Maggie mengingatkan.
Terlambat.
Gus menerjang keluar. Dia berlari-lari mengitari kaki Andrea. Kemudian menerjang Mrs. Travers, melompatinya, lalu menuju ke arah Maggie.
"Tenang, Gus," kata Maggie. Tiba-tiba Gus lari menjauh. Tangan Maggie penuh koper. "Gus!" teriaknya.
Anjing tolol itu tidak mau berhenti.
"Cepat, Andrea. Tangkap dia!" teriak Mrs. Travers.
"Itu anjing Maggie," sahut Andrea kesal. Biar Maggie yang menangkapnya."
Maggie nyaris berkata bahwa Andrea yang membiarkan Gus lepas. Tapi dia melihat kekesalan di wajah ibunya. "Aku akan menangkapnya," katanya sambil menarik napas.
Dia meletakkan koper-koper itu lalu berlari mengejar Gus. Anjing itu sudah sampai di ujung blok. Dia mengencingi pagar hidup rumah orang. "Gus!" teriak Maggie lagi.
Anjing itu bahkan tidak menegakkan kepalanya untuk mendengarkan. Dia lari lagi.
Maggie mempercepat larinya.
Dia lari kencang sekali, sepatu ketsnya berdebam-debam di jalan aspal.
Gus berbelok di tikungan, hilang dari pandangan. "Gus!" Maggie berteriak lagi.
Kemudian dia sampai di tikungan. Larinya langsung terhenti.
Gus sedang menyeberangi halaman berumput di seberang jalan. Tetapi ketika melihat Maggie, anjing itu langsung berbalik dan berlari ke arahnya.
Gus mengambil jalan pintas terpendek. Menyeberang jalan.
Tepat di tempat yang akan dilewati truk yang melaju kencang.
"Gus... stop!" jerit Maggie.
Dia memejamkan mata dan mendengar anjing itu mendengking kesakitan.
Chapter 2
BAN mendecit. Klakson melengking nyaring. Truk itu selip.
Dengan dengking anjing terngiang-ngiang di kepalanya, Maggie menjerit.
Tanpa sadar, dia menutupi matanya dengan kedua telapak tangannya. Sekujur tubuhnya gemetar. Pelan-pelan dia menurunkan tangannya—dan melihat Gus yang berdiri gemetar di trotoar, tetapi tidak terluka.
Maggie baru sadar, anjing malang itu pasti mendengking ketakutan—bukan kesakitan.
Truk itu berhenti beberapa meter dari situ. Sopirnya melongokkan kepala ke luar, wajahnya yang bulat merah padam karena marah. Ikat anjing tolol itu!" teriaknya kasar.
"Maaf," kata Maggie. Begitu truk itu berlalu, ia menjerit keras-keras meluapkan kelegaannya.
"Oh, Gus! Kau selamat! Kau selamat!" Dia berlutut, tangannya terkembang lebar. "Gus! Sini! Sini!"
Gus mendekat dengan patuh. Maggie melingkarkan lengannya di sekeliling kepala anjingnya yang mulai kelabu dan memeluknya erat-erat. "Bagus," bisiknya, "sekarang kau patuh."
Gus menunggu dengan sabar sampai Maggie melepaskan pelukannya. Kali ini tangannya mencengkeram kalung Gus.
Aku tak sanggup menghadapi kematian lain dalam keluargaku, pikirnya murung. Aku tak sanggup.
Maggie membawa Gus kembali ke rumah, lalu masuk lewat pintu depan. Dia bertabrakan dengan pengangkut barang yang berjalan dari arah berlawanan.
"Lihat-lihat kalau jalan!" geram orang itu dengan kasar.
Begitu Maggie melepaskannya, Gus langsung mengendus-endus ke segala arah, menjelajahi rumah baru itu. Dia lari ke ruang tamu. Di sana Andrea sedang bersantai di sofa keluarga Travers yang bermotif garis-garis putih-kelabu. Sofa itu tampak janggal di dalam ruangan yang kosong.
Di dapur, Mrs. Travers sedang menyeka jelaga, debu, dan bekas-bekas minyak di kompor. Mrs. Travers biasanya bersikap santai menghadapi apa pun, tapi jika ada barang kotor, sikapnya tak kenal kompromi—seperti mesin pembersih.
Tangannya yang terbungkus kaus tangan karet berwarna kuning melambai pada Maggie dan Andrea. "Hmm," katanya, "Mom menemukan peninggalan arkeologis penting di dapur. Ada debu setebal 25 senti di sini!"
Maggie memandang adiknya. Wajah Andrea murung. "Andrea," katanya dengan sabar, "kita bereskan kamar kita, yuk. Mungkin lebih enak rasanya kalau kita sudah memasukkan barang-barang kita ke sana."
"Aku tak yakin," Andrea menggerutu. Namun diikutinya Maggie ke lantai atas.
"Jangan patah semangat melihat penampilan kamarnya," teriak ibu mereka. "Kamar kalian cuma perlu dibersihkan. Aku segera ke atas setelah selesai di dapur."
Tak cukup hanya menyapu untuk membuat rumah ini nyaman ditinggali, pikir Maggie. Kertas dinding di selasar tadinya putih dengan bunga-bunga mawar. Tapi kertas dinding itu sudah menguning dan mengelupas, bunga-bunga mawarnya tampak layu.
Ia membelok ke kanan di puncak tangga. Kamar tidur mereka di ujung selasar. Ia berjalan lagi lalu membelok ke kanan dan masuk kamar yang dipilihnya, sementara Andrea membelok ke kiri, ke kamarnya.
"Wah!" seru Maggie. Langkahnya terhenti ambang pintu.
Benda itu ada di sana.
Sebuah ranjang indah berkanopi dan bertiang empat.
Kayunya hitam berpelitur. Kanopinya merah muda.
"Oh, indah sekali!" bisik Maggie. Matanya mengejap. Seakan untuk memastikan bahwa ranjang itu benar-benar nyata, dia menyeberangi kamar lalu duduk di atasnya.
"Menakjubkan," katanya lirih. Pemilik sebelumnya meninggalkan ranjang seindah ini!
Tapi mengapa? Mengapa mereka meninggalkan ranjang ini dan tidak satu pun barang lainnya?
Benar-benar misterius.
"Kamu pasti bercanda!" seru Andrea dari ambang pintu. Ia mendengar seruan Maggie yang kagum bercampur gembira.
Maggie berdiri dan menunjuk ranjang itu sambil menyeringai. "Lihat saja sendiri."
Andrea memutari ranjang itu, mulutnya ternganga. Dibelainya tiang-tiang yang terbuat dari kayu tua itu. "Bagaimana mungkin mereka meninggalkan ini?"
Maggie menggeleng. "Aku tak tahu. Mungkin mereka sudah bosan."
Bahkan ketika mengatakannya, Maggie sadar bahwa penjelasan itu terdengar konyol. Bagaimana mungkin ada orang tak menyukai ranjang ini?
"Ini indah sekali!" kata Andrea penuh kagum. "Lihat ukiran di tiang-tiang ini."
Dia benar. Ukirannya memang indah, puncaknya berbentuk bunga cemara yang terukir halus, menonjol di atas kanopi.
"Menurutmu, apakah kira-kira mereka akan kembali untuk mengambil ini?" tanya Andrea.
Maggie mengerutkan dahi. Itu tak pernah terpikirkan olehnya. Mungkin ia memang tidak berhak memiliki ranjang itu. "Sayang sekali," pikirnya. "Kenapa mereka mengangkut semuanya kecuali ranjang ini untuk kemudian diambil? Ini tak masuk akal."
"Kau benar," kata Andrea. "Kurasa mereka memang sengaja meninggalkannya."
Andrea tersenyum ramah kepada Maggie. Aku tahu arti senyummu, kata Maggie dalam hati. Memang, Maggie dapat meramalkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Andrea pura-pura tenang, tapi Maggie melihat adiknya itu sebenarnya sangat tegang. Dan dia tahu mengapa Andrea tegang. Andrea menginginkan ranjang itu. Sangat menginginkannya.
"Dengar, Mags," Andrea memulai. "Mags kau tahu aku selalu ingin punya ranjang antik seperti ini." Andrea menggigit bibir.
Persis seperti yang kuduga, kata Maggie dalam hati.
Berikutnya, Andrea akan menuntut, "Ini buatku ya?"
Ini buatku, ya?—adalah kalimat favorit Andrea.
Andrea memandang kakaknya, memohon lewat matanya. Mata Maggie beralih ke bawah, memandang ranjang itu.
Apa yang harus kukatakan padanya? tanya Maggie pada diri sendiri. Apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku menghindari pertengkaran dan memberikan ranjang ini padanya?
Apa yang harus kukatakan?
Seandainya Maggie tahu pengalaman mengerikan yang menunggunya di ranjang tua berkanopi itu, jawabannya mungkin akan lain.
Tetapi dia tidak tahu. Dia tidak tahu mengapa ranjang itu ditinggalkan pemiliknya.
Chapter 3
"YANG menemukan yang berhak," kata Maggie kepada adiknya.
Andrea meringis, seakan Maggie baru saja memukulnya. "Yang menemukan yang berhak? yang bener aja!" teriak Andrea sengit. "Kau kekanak-kanakan, Maggie."
Senyum Maggie langsung .lenyap. "Ini bukan soal kekanak-kanakan. Kita sudah memilih waktu terakhir kali kita ke sini. Kau Ingin kamar yang lebih besar, di bagian belakang rumah, kamar yang tenang, yang tidak menghadap jalan. Ingat? Kamar dengan kursi di dekat jendela."
"Tapi itu sebelum kita tahu mereka akan meninggalkan ranjang ini," rengek Andrea. "Ini nggak adil."
"Andrea," kata Maggie. "Sori. Ini soal keberuntungan saja. Dengar, kadang-kadang aku yang beruntung, kadang-kadang kau..."
"Kau ngaco, Maggie, tahu nggak!" bentak Andrea. "Kau selalu mendapat apa pun yang kauinginkan!"
"Nggak, nggak benar, itu..."
"Itu benar! Aku tak percaya kau! Kau tak pernah memberiku kesempatan! Tak pernah! Kamu benar-benar egois dan serakah!"
Sejauh yang diingat Maggie, selalu Andrea yang memulai pertengkaran, menggunakan kata-kata kasar dan berteriak-teriak. Memang begitulah yang terjadi sekarang. Andrea menjerit-jerit sekeras-kerasnya.
Semakin keras Andrea berteriak, semakin bungkamlah Maggie. "Andrea, bagaimana kalau ranjang ini ada di kamarmu? Maukah kau memberikannya padaku?"
Andrea mondar-mandir mengelilingi ranjang itu. Tiba-tiba dia menepuk dahinya, pura-pura heran. "Pasti kuberikan jika seumur hidupmu kau terus bermimpi ingin punya ranjang berkanopi!" pekiknya.
"Seumur hidupmu, sejak kapan, Andrea?" balas Maggie. Dia mencoba tetap tenang, tetapi suaranya bergetar. "Sejak lima menit yang lalu?"
Dia mendengar langkah kaki bergegas menaiki tangga.
"Mom!" Andrea mengadu begitu Mrs. Travers cepat-cepat masuk ke kamar tidur. "Bilangin dia, Ma! Aku sudah lamaaaa sekali ingin punya ranjang berkanopi? Ya, kan?
"Tenang, tenang, tenang," kata Mrs. Travers dengan suara letih. "Tolong kalau bertengkar, jangan teriak-teriak." Kemudian matanya melihat ranjang itu, dan rahangnya merosot.
"Astaga," seru Mrs. Travers. Matanya berbinar. "Mereka meninggalkan ranjang antik yang cantik ini?"
"Ya!" seru Andrea. "Dan Maggie bilang..."
Mrs. Travers tidak mendengarkan. Pelan-pelan ia menyeberangi kamar dan memandang ranjang itu, seakan melihat keajaiban. "Harganya pasti di atas seribu dolar," katanya lirih. "Mengapa mereka meninggalkannya? Kuharap tak ada apa-apanya. Bukan lapuk atau jadi sarang serangga atau..."
"Masih bagus sekali," tegas Andrea. "Dan Maggie menganggap ini miliknya karena ada di kamarnya, itu sungguh kekanak-kanakan, aku..."
Kata-katanya terputus. Mrs. Travers mengangkat tangannya seperti polisi lalu lintas.
"Tunggu, Andrea. Mom tak mau dengar kalian bertengkar soal ini. Maksud Mom, soal ini justru harus kita rayakan."
"Aku harus merayakannya karena Maggie mendapat ranjang antik ini?" Andrea pasang tampang menyebalkan.
"Kau harus ikut merayakannya, karena kita semua mendapat ranjang antik ini," kata Mrs. Travers. "Tapi karena Maggie memilih kamar ini, dia akan tidur di ranjang ini. Apa masalahnya?"
"Tapi itu nggak adil!" jerit Andrea.
Mrs. Travers jarang sekali bicara dengan suara tajam. Sekarang, wajahnya seperti orang kesakitan, dia seperti mau menangis.
Mereka sering menangis dalam tujuh bulan belakangan ini, sejak Mr. Travers meninggal. Mrs. Travers-lah yang paling sering menangis. Maggie dan Andrea sering terbangun tengah malam, mendengar tangis ibu mereka. Mereka mencoba menghiburnya, namun tidak pernah berhasil.
Jadi, setiap kali Mrs. Travers hampir menangis, seperti saat itu, mereka langsung terdiam. Andrea mengertakkan gigi, tetapi tidak mengucapkan sepatah kata pun.
"Mom heran melihat kalian berdua," kata Mrs. Travers, tangannya bersedakap. "Kalian selalu saja bertengkar. Orang akan mengira kalian saling membenci."
Memang, pikir Maggie pahit. Bahkan meninggalnya Daddy tidak membuat kami lebih dekat.
Kami memang saling membenci.
************
Malam itu rencananya mereka akan makan malam di rumah, tetapi Mrs. Travers tidak dapat menemukan kotak yang berisi bahan makanan. Jadi, meskipun mereka sedang harus sangat berhemat, diajaknya kedua putrinya ke restoran.
Maggie berhasil menyelesaikan makan malam itu tanpa bertengkar dengan Andrea. Itu kabar yang bagus. Kabar buruknya, mereka nyaris tidak saling bicara. Tak terlalu mengherankan, kata Maggie pada diri sendiri. Mereka semua kecapekan.
"Aku ingin kembali ke rumah lama kita," Andrea menggerutu sementara mereka menghabiskan makanan. "Bahkan tanpa perabotan pun, rumah kita yang lama masih lebih bagus."
Mrs. Travers tidak menanggapi. Begitu pula Maggie. Apa lagi yang bisa dikatakan?
Maggie melingkarkan lengannya ke bahu adiknya, ketika mereka berjalan keluar restoran.
Aku akan menjaga keakraban keluarga ini, janjinya dalam hati. Kalau itu memang harus kulakukan.
Ketika kembali ke rumah di Fear Street itu, untuk pertama kalinya mereka melihatnya ketika hari sudah gelap. Dalam cahaya matahari yang benderang, rumah itu terlihat bobrok dan jelek. Tak heran jika di malam hari rumah itu kelihatan gelap dan menyeramkan.
Telepon berdering ketika mereka bergegas masuk. "Telepon pertama!" Andrea berteriak penuh semangat sambil berlari ke pesawat telepon.
Wajahnya langsung cemberut ketika dia menjawab. "Tunggu sebentar," katanya, mendesah.
Dia membiarkan gagang penerima tergantung pada kabelnya. "Untukmu," katanya pada Maggie sambil melangkah pergi dengan kesal. "Selalu untukmu." Maggie mendengar adiknya mengomel pelan.
Ketika Maggie mengangkat telepon, dia mendengar suara yang dikenalnya menyapa riang, "Hei, bagaimana rumah barumu?"
"Justin!" seru Maggie. Baru beberapa minggu dia "jalan" dengan Justin Stiles dan masih belum mempercayai keberuntungannya. Justin cowok paling populer di Shadyside High.
Salah satu kawan karib Maggie di tim renang, Dawn Rogers, kencan dengan cowok itu tahun lalu. Ketika pertama kali Justin mengajak Maggie kencan, Dawn memperingatkan Maggie bahwa mata Justin "suka berkeliaran".
Tapi waktu itu Maggie tidak peduli. Dia bersyukur karena mata Justin berkeliaran ke arahnya!
Rambut Justin cokelat, ikal, dan seksi. Matanya yang biru bersinar hangat dan membius, membuat Maggie serasa meleleh.
"Bagaimana rumah barumu?" tanya Justin.
"Suasananya seperti di The Addams Family," kata Maggie asal-asalan.
"Jangan ngawur!" teriak Mrs. Travers dari kamar duduk.
"Memang begitu kok," bisik Maggie. "Persis rumah-rumah yang kita lihat di film horor, yang dari dindingnya merembes lendir hijau yang lengket."
Justin mendengus. "Aku suka rumah seperti itu!"
Maggie mengerang.
Mereka sama-sama diam. Maggie mencari-cari bahan obrolan.
"Jadi, kapan aku boleh ke situ?" tanya Justin.
"Jangan," jawab Maggie. "Ini serius. Aku sangat malu. Kau tak boleh ke sini—jangan pernah ke sini."
Justin tertawa, tetapi kali ini suaranya terdengar agak tegang. "Apa maksudmu?"
Maggie nyengir. Dia senang karena Justin mungkin merasa tidak yakin akan hubungan mereka—walaupun hanya sesaat. Justin Stiles? Tak yakin? Dari semua yang didengarnya tentang Justin, jika benar begitu, itu berarti perubahan besar.
"Hmm. Bagaimana kalau kau ke sini—hmm, besok siang?" tanyanya. Dia mencoba bersikap santai.
"Bagus," balas Justin. "Sampai nanti, Mags."
Begitu diletakkan, telepon berdering lagi. Andrea bergegas masuk dari ruang duduk.
Telepon itu untuk Maggie lagi.
"Kami mencari-carimu tadi sore, " terdengar suara bernada riang. "Kau sudah siap kalah di seratus meter besok?"
"Hai, Dawn," kata Maggie sambil bersandar pada dinding dan mengalihkan gagang ke telinga satunya. Dawn Rogers perenang terbaik di tim—setelah Maggie, tentu saja. "Yah, aku memang siap kalah," kata Maggie. "Sudah seminggu aku nggak nyebur kolam!"
"Bagus," kata Dawn. "Mungkin aku akan dapat kesempatan." Kemudian dia tertawa.
Sepanjang musim kompetisi kali ini, Maggie selalu mengalahkan Dawn di setiap lomba. Dawn gadis paling kompetitif yang pernah dikenal Maggie, tetapi dia sangat sportif menerima posisi kedua
"Eh, sebenarnya aku menelepon bukan untuk urusan itu," kata Dawn. "Kau tahu kenapa aku meneleponmu."
Maggie tersenyum. "Aku baru saja bicara dengan Justin, sedetik yang lalu," balasnya.
"Kau bisa baca pikiran orang, ya," kata Dawn sambil tertawa cekikikan.
Maggie menceritakan telepon Justin kepada Dawn. Dia menyandarkan badannya ke dinding, matanya menerawang, mulutnya tersenyum. Berkencan dengan Justin adalah yang terbaik. Tapi menceritakannya kepada teman setelah kencan itu, nyaris sama asyiknya!
Sambil bicara dengan Dawn, Maggie melihat Andrea memelototinya dari ruang sebelah.
Mengapa dia memelototiku seperti itu? Maggie terheran-heran.
Mengapa dia memandangiku terus dan menguping?
Oh, Andrea, jangan begitu dong! Urus saja dirimu!
*************
Mereka tidur pukul sepuluh, kecapekan setelah membongkar barang-barang.
Maggie dan Andrea berbagi kamar mandi di ujung selasar. Andrea bilang dia hanya perlu waktu beberapa menit dan berkeras mendapat giliran lebih dulu.
"Hei... keluar!" akhirnya Maggie berteriak dua puluh menit kemudian. Dia menggedor pintu kamar mandi keras-keras.
Pintu terbuka, kepulan uap panas menerpa wajah Maggie. Rambut Andrea yang merah menempel pada kepalanya. Dia menggerutu. "Airnya bau!" teriaknya. "Aku terpaksa membuka keran setahun sebelum airnya yang cokelat jadi jernih! Keran ini tak pernah digunakan lagi sejak Zaman Perang Saudara!"
Maggie ingin mengeluh karena Andrea berlama-lama di kamar mandi, tetapi dia menahan diri. Dia memaksa diri tersenyum. "Hmm, selamat tidur," katanya.
"Di sarang hantu yang menjijikkan ini?" tukas Andrea. "Tak masuk akal." Dia melangkah cepat ke kamarnya lalu menutup pintu.
Ranjang berkanopi itu tampak semakin cantik karena Maggie menutupinya dengan seprai merah jambu dan penutup tempat tidur dari kain afghan putih tipis yang dirajut neneknya untuknya. Dia menghentikan langkahnya, dan untuk keseratus kalinya mengagumi ranjang itu. Sungguh indah!
Maggie melangkah ke jendela. Dalam cahaya bulan yang pucat, dia bisa melihat kuncup-kuncup kecil menghiasi pohon maple tua yang tumbuh persis di depan jendela kamarnya. Ini pertanda baik. Telepon dari Justin membuatnya gembira. Cowok itu akan datang besok siang!
Dia menguap. Dia benar-benar capek. Ditukarnya pakaiannya dengan pakaian tidur, dan diletakkan pakaian itu di kursi yang tadi diusung ke lantai atas oleh salah satu tukang angkut.
Maggie merasa senang naik ke ranjang yang rapi. Dia merasa aman ketika sudah bergelung di balik selimut.
Dia berbaring telentang, matanya memandangi kanopi di atasnya. Perlindungan ganda.
Maggie memejamkan mata. Diaturnya posisi badannya agar nyaman, dan dirasakannya otot-ototnya mulai mengendur.
Biasanya tidak mudah baginya tidur di ranjang baru. Kali ini, tanpa bersusah-susah dia langsung tenggelam dalam tidurnya.
Lalu, muncullah mimpi yang pertama.
Mula-mula mimpi itu indah. Dia mengambang. Tidak. Jatuh. Jatuh pelan-pelan menembus kabut merah jambu yang berputar-putar.
Kemudian kabut itu bertambah pekat dan gelap. Warna merah jambu lenyap, berganti warna kelabu yang jelek dan suram.
Dari balik kabut jelek itu, dia melihat seorang gadis.
Apa yang dingin ini? Apa yang tiba-tiba terasa dingin?
Apakah kabut gelap ini berubah jadi dingin? Atau gara-gara gadis itu?
Dia melihat kepala gadis itu, rambutnya yang panjang, warna pirang keabu-abuan...
Tapi dia tak bisa melihat wajah gadis itu.
Aku ingin melihat wajahnya, kata Maggie dalam mimpinya.
Mengapa aku tak bisa melihat wajahnya? Ada yang tak beres?
Dia tahu dia sedang bermimpi. Dan dia sadar, dia ketakutan.
Mimpi itu tidak indah lagi.
Ada yang tidak beres. Ada yang janggal pada gadis itu.
Mengapa dia tak bergerak? Maggie menduga-duga. Mengapa aku tak bisa melihat wajahnya?
Gadis itu dalam kesulitan, Maggie langsung tahu itu.
Gadis itu dalam kesulitan besar.
Maggie mencoba bergerak mendekat, namun kabut pekat itu menghalanginya.
Dia mencoba melihat wajah gadis itu, tetapi kabut semakin pekat, kabut itu berputar-putar di sekelilingnya seperti tirai berat, menyelubungi gadis itu dari pandangannya.
Kemudian Maggie mendengar jerit yang mengerikan.
Chapter 4
JERITAN itu melengking tinggi, seperti jerit orang yang sedang sekarat.
Maggie terduduk, jantungnya berdegup kencang, matanya terbelalak.
Siapa yang menjerit? Dan mengapa?
Dengan napas tersengal-sengal, dia memelototi sekeliling kamar yang gelap. Apakah dia sendirian?
Ya. Tapi di mana?
Ini bukan kamarku, pikirnya.
Ini bukan rumahku.
Kemudian dia ingat. Ini rumah barunya, kamar barunya.
Dia menahan napas ketika Andrea dan ibunya berlari masuk. Maggie memandang mereka, matanya nanar penuh kengerian. Dia duduk tegak di ranjang, memegangi kain afghan putih itu di dadanya.
"A-a-apa jeritan itu?" ibunya bertanya dengan ngeri.
Maggie sadar bahwa dialah yang mengeluarkan jeritan panjang yang mengerikan itu. "Mimpi buruk," gumamnya, dia malu.
"Oh, untunglah," kata ibunya, sambil duduk di ranjang. "Jeritanmu itu... kukira..."
"Benar-benar mimpi buruk, ya?" tanya Andrea dengan suara tajam, lalu duduk di kaki ranjang dan memeluk tiang ranjang yang berukir.
Pelan-pelan napas Maggie kembali normal. Dia memaksa diri tersenyum. Aman rasanya dikelilingi ibu dan adiknya.
"Mimpi itu... seperti nyata," katanya tergagap.
"Hmm, mimpi kadang-kadang memang seperti nyata," kata Mrs. Travers. Dia menepuk bahu putrinya. Maggie merasa dirinya konyol, seperti anak umur tiga tahun.
"Ceritakan," usul Andrea, "sebelum kau lupa."
"Kurasa aku takkan bisa melupakannya," kata Maggie pada adiknya. "Mimpi itu tentang cewek yang sedang tidur. Caranya tidur—mula-mula kukira dia sudah mati. Kemudian dia bergerak-gerak, menggeliat-geliat dan berguling-guling. Dia seperti... aku tak tahu... seperti tersiksa. Aku bisa merasakan, dia dalam bahaya."
"Aneh," kata Andrea. "Seperti apa dia?"
"Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi rambutnya pirang panjang."
"Dawn Rogers," tebak Andrea. "Kau tadi ngobrol dengan Dawn, kan?"
Benar. Dawn berambut pirang panjang. Tetapi rambut gadis dalam mimpinya itu pirang keabu-abuan, rambutnya pucat; warna pucat yang seingat Maggie belum pernah dilihatnya di majalah-majalah. "Mungkin itu Dawn," katanya pada Andrea. "Aku tak tahu."
Mrs. Travers menyibakkan rambut dari kering Maggie. "Itu pasti karena stress pindah rumah." Dia tersenyum kepada Maggie, tetapi wajahnya tampak cemas. Kedua matanya bengkak.
Maggie merasa tidak enak karena membuat ibunya terbangun. Ibunya pasti capek sekali.
"Kau bisa tidur lagi sekarang?" tanya Mrs. Travers.
Maggie mengangguk. "Terima kasih," dia menggumam ketika ibu dan adiknya keluar dari kamarnya. "Tolong, pintunya jangan ditutup," tambahnya. Dia merasa konyol mengatakan itu, tetapi dia masih terpengaruh oleh mimpinya.
Dia tak bisa mengenyahkan rasa takutnya. Sepertinya kengerian menggantung rendah di atas kepalanya, melayang seperti awan gelap di atas ranjang berkanopi itu.
******************
Maggie menyetel wekernya untuk pukul tujuh. Dia ingin pergi ke kolam renang sekolah dan berenang sejam sebelum sarapan. Berenang mengendurkan saraf. Dia bisa menceburkan diri ke kolam, melamun, dan menyuruh tubuhnya, "Renang!"
Tetapi ketika dia membuka mata, weker itu menunjuk pukul sepuluh. Dia mengambil weker itu dan memeriksanya. Weker itu mati. Stopkontak di dinding tempat dia mencolokkan weker itu pasti dikontrol oleh sakelar lampu di dekat pintu. Pukul sepuluh adalah jam ketika dia memadamkan lampu dan naik ke ranjang.
Dia mencari arlojinya. Sudah hampir pukul sebelas.
"Oh, aduh," geram Maggie kesal. Satu lagi kesempatan berenang di pagi hari lenyap. Dan besok hari pertama babak penyisihan untuk menentukan anggota tim renang yang akan berlomba di tingkat Negara Bagian.
Sambil mendesah, Maggie mengenakan celana denim pendek dan T-shirt yang kedodoran, lalu bergegas turun untuk sarapan pagi yang kesiangan. Hari itu Minggu. Kemudian dia dan Andrea menghabiskan sisa pagi itu dengan membantu ibu mereka menyapu dan mengepel.
Suasana hati Maggie sedang tidak enak. Dia memutuskan untuk menata kamarnya seperti kamarnya di rumahnya yang lama. Pikirnya itu akan membuatnya senang. Sebaliknya, dia justru merasa semakin sedih.
Poster-poster atlet renang yang dipasangnya membuat dinding putih itu tampak semakin kusam dan jelas-jelas harus dicat ulang.
Kemudian dia menata koleksi kristalnya di meja rias. Kamarnya yang dulu selalu penuh cahaya matahari, sehingga kristal-kristal itu membiaskan warna-warna indah. Di sini, prisma-prisma dan binatang-binatang kaca itu sama sekali tidak bersinar.
Ketika membereskan kamarnya, Maggie menemukan benda lain yang ditinggalkan pemilik sebelumnya. Di bibir luar jendela yang lebar dia melihat pohon geranium di pot mungil. Mati. Tanaman layu itu cocok sekali dengan suasana hatinya.
Justin akan membuatku gembira, katanya pada diri sendiri.
Kira-kira pukul dua, dia mulai gugup karena akan bertemu Justin. Dia meminta ibunya mendengar-dengarkan kalau-kalau bel pintu berbunyi. Dia bahkan keluar dan memencet bel untuk memastikan bel itu masih berfungsi dengan baik.
Kemudian dia mandi dan mengenakan pakaian bersih—celana jins yang warnanya sudah pudar, T-shirt putih, dan rompi kotak-kotak hijau yang dibelinya di pasar loak. Warna hijau rompinya membuat hijau matanya semakin indah memukau.
Dia mengetuk pintu kamar Andrea. "Masuk," sahut Andrea tanpa semangat.
Maggie melihat adiknya telentang di ranjangnya. "Kau sedang ngapain?" tanyanya.
Andrea tidak memedulikan pertanyaan itu. "Kita akan terbiasa dengan tempat ini, kan?" tanyanya murung.
Maggie mengangkat bahu. Dia melihat majalah mode disembunyikan di bawah bantal. Andrea selalu bilang tidak peduli akan penampilan dan mode atau hal-hal remeh seperti itu.
Tetapi suatu kali, waktu Maggie mencari-cari CD yang dipinjam Andrea, dia menemukan satu kotak sepatu penuh guntingan artikel dari majalah wanita. Artikel seperti "10 Cara untuk Tampil Ramping dan Langsing" dan "Ingin Tampak Langsing? Berlatihlah!" Pokoknya, yang semacam itulah.
"Sisirku belum ketemu," keluh Maggie. "Pinjam punyamu, ya?"
"Ambil saja."
Maggie menemukan sisir perak itu di meja rias Andrea lalu menyisir rambut panjangnya. "Sebentar lagi Justin datang," katanya.
Di cermin dia melihat rasa iri sekilas melintas di wajah adiknya.
Aku harus bagaimana lagi? pikir Maggie dengan pahit. Memutuskan hubungan dengan Justin agar Andrea tidak iri?
Maggie mengamati wajah adiknya, mencari akal untuk membuatnya senang. "Kau masih sedih karena kita pindah ke sini?" tanyanya.
"Yah, begitulah," gumam Andrea. "Aneh. Rumah ini, lingkungannya, semuanya aneh." Dia menelan ludah dengan susah payah, kemudian menambahkan, "Tak ada Dad."
"Aku tahu," kata Maggie lembut. Keheningan menggantung berat. Mereka berdiaman. Tak ada lagi yang bisa dikatakan, mereka sama-sama tahu.
"Aku baru saja berpikir yang aneh-aneh," Andrea membuka hati, menghindari tatapan kakaknya. "Pikiran yang aneh, ganjil." Dia berhenti, kemudian tersenyum sekilas kepada Maggie, senyumnya tegang. "Selamat bersenang-senang bersama Justin," katanya dingin.
*****************
"Mana dia?" tanya Maggie keras-keras sambil memandang ke luar dari jendela depan. Sudah pukul empat, Justin juga belum datang.
Pukul lima dia bersumpah akan memutuskan hubungan dengan cowok itu. Teganya Justin memperlakukannya seperti itu.
Pukul lima lewat sepuluh akhirnya bel pintu berdering. Dengan bersemangat Maggie berlari menuruni tangga. Ketika sampai di anak tangga paling bawah, kemarahannya sudah lenyap.
Dia membukakan pintu untuk Justin yang berdiri dengan satu tangan di balik punggung.
"Sesuatu untukku?" tanya Maggie riang.
Justin mengulurkan tangannya. Dia membawa kantong plastik besar berisi spons untuk membersihkan dapur.
"Romantis sekali!" kata Maggie.
Cowok itu melihat wajah Maggie yang bingung. "Katamu kau harus bersih-bersih," jelasnya sambil nyengir.
"Wah, kau benar."
Maggie melangkah maju, mencium pipi Justin sekilas dan menyentuh lengannya dengan lembut. Dia harus berjinjit untuk itu, tapi dia menyukainya.
Tinggi Maggie hampir 170 senti. Artinya, biasanya dia sama tinggi—kalau tidak lebih tinggi—dibandingkan cowok-cowoknya. Justin 180 senti. Tak beda jauh. Dan sangat tampan, Maggie rasanya tak percaya akan keberuntungannya.
"Mom, lihat," kata Maggie sambil mempersilakan Justin masuk ke rumah. "Spons baru."
Hati Mrs. Travers meleleh, seakan Justin membawakannya seikat mawar merah. "Inilah yang kubutuhkan!" sambutnya riang.
"Selera Mom payah," kata Maggie datar.
"Hei, Mags," kata Justin sambil memandang sekeliling, "tempat ini tak seburuk yang kauceritakan."
"Ya, kan?" Wajah Mrs. Travers semakin cerah. Justin benar-benar sedang memamerkan daya tariknya.
"Mau minum?" tanya Maggie sambil mengajak Justin ke dapur. "Kami punya dua kaleng Sprite dan"—dia membuka kulkas dan mengintip ke dalam—"dan dua kaleng Sprite."
"Kami belum sempat belanja," jelas Mom dengan rasa bersalah.
"Uh, aku minum Sprite saja," kata Justin. Mata birunya berkedip jenaka. Tanpa sadar Maggie menatapnya lama-lama. Tak bisa tidak.
Warna mata Justin seperti warna air laut di iklan-iklan pulau wisata di Karibia.
"Ayo," katanya sambil mengulurkan kaleng Sprite, "kuantar kau melihat-lihat."
Rumah itu kecil, jadi tidak perlu waktu lama untuk melihat-lihat. Setelah itu mereka masuk ke kamar Maggie. Justin duduk di satu-satunya kursi yang tersedia. Maggie duduk di ranjang, berharap Justin akan duduk di sampingnya dan menciumnya.
Justin tidak bereaksi.
Mereka pernah kencan beberapa kali, tapi hubungan mereka masih sangat baru. Setiap kali bertemu, mereka merasa harus memulainya dari awal lagi.
Tepat ketika itu, Gus menerjang masuk dan berlari kencang ke arah Justin. Kalau saja aku bisa bersikap tanpa malu seperti itu, pikir Maggie.
Gus telentang di lantai, minta Justin menggaruk-garuk perutnya. Maggie tertawa.. Ah, aku tak mau seperti Gus yang minta digaruki perutnya.
Justin menggaruk perut Gus dengan sepatu ketsnya. Gus mengerang-erang senang. Kemudian dia bangkit dan keluar dari kamar. Ruangan kembali hening dan tegang.
"Kau sudah siap ikut babak penyisihan besok?" akhirnya Justin bertanya.
Maggie mengerang. "Terima kasih, kau mengingatkanku."
"Kenapa? Kau tak gugup, kan?"
"Tidak." Dia melompat berdiri, lalu mondar-mandir.
"Kau pasti berhasil," kata Justin mantap.
"Semoga," sahut Maggie. Dia tidak ingin mempercayai takhayul, tetapi pujian seperti itu membuat perasaannya tidak enak.
Coach Randall, pelatih mereka, mengadakan babak penyisihan untuk menentukan siapa yang layak berlaga di kejuaraan Negara Bagian untuk nomor 200 m Gaya Ganti. 200 m Gaya Ganti adalah pertandingan paling berat. Perenang harus tampil sebagus mungkin dalam setiap gaya.
Shadyside hanya boleh mengirimkan dua perenang dalam kejuaraan itu. Coach Randall sudah mempersempit persaingan dengan menunjuk empat perenang.
"Lawan terberatku adalah bekas pacarmu, Dawn," kata Maggie, sambil tersenyum pada Justin.
Justin menyeringai. "Pacar? Ayolah, Mags. Jangan begitu! Aku kan sudah bilang, kami pernah kencan sekali. Hanya sekali!"
Maggie berusaha untuk tidak tampak senang mendengar jawaban Justin. "Yah, bagaimanapun, aku merasa Dawn akan mengalahkanku."
"Dawn memang hebat," Justin sependapat.
"Oh, terima kasih atas dukunganmu!" seru Maggie, lalu tertawa. "Jawabanmu salah. Seharusnya kau bilang aku pasti bisa mengalahkannya dengan mudah. Seharusnya kau bilang aku dapat menduluinya dua kali dalam lomba dua-lap!"
Wajah Justin jadi serius. "Kupikir kau bisa mengalahkannya," katanya.
"Kaupikir?"
"Aku tahu."
"Sekarang aku senang," kata Maggie sambil memutar-mutar bola matanya. Sangat berarti baginya bila Justin yakin akan kemampuannya. Tentang olahraga, Justin tahu banyak. Dia pelari tangguh dan kapten tim bisbol Shadyside High.
"Tiffany juga hebat lho," tambah Justin.
Tiffany Hollings gadis yang lembut tutur katanya, rambutnya hitam keriting, dan matanya besar berbentuk buah badam. Maggie sudah tahu sebaiknya dia tidak meremehkan gadis itu. Tiffany berlatih berjam-jam setiap hari, termasuk di akhir pekan. Dia paling hebat di gaya kupu-kupu dan gaya punggung.
"Lalu, masih ada Andrea," kata Maggie. Justin berkata, "Kau pasti bisa mengalahkan Andrea, tak ada masalah."
Maggie cepat-cepat berpaling ke kamar adiknya. "Ssstt!"
Setelah kelihatannya semuanya aman-aman saja, dia melirihkan suaranya. "Salah. Jangan coret Andrea dari daftar. Dia semakin bagus. Selain itu, mengalahkanku merupakan tujuan hidupnya."
"Itu hanya karena dia belum pernah mengalahkanmu," kata Justin.
Maggie mendesah. "Aku sangat tegang, Justin. Aku benar-benar tegang. Aku ingin sekali terpilih ikut kejuaraan Gaya Ganti itu. Kalau gagal, lebih baik aku bunuh diri!"
"Aku senang kau tak menambah beban ekstra pada dirimu," goda Justin.
"Ada hal lain," kata Maggie. Justin menunggu, memandanginya dengan matanya yang biru sempurna. "Aku mimpi tadi malam."
"Biar kutebak. Kau mimpi ketika kau sedang berjalan ke kolam renang, baju renangmu lepas dan semua orang menertawakanmu. Aku selalu mimpi seperti itu sebelum pertandingan besar."
"Salah." Maggie menggeleng. "Dalam mimpiku aku melihat seorang cewek. Aku tak bisa melihat wajahnya, tapi aku tahu dia dalam bahaya."
"Aneh," kata Justin. "Tapi apa hubungannya dengan renang?"
"Tak ada," Maggie mengakui. "Tapi mimpiku itu selalu terbayang-bayang. Mungkin itu pertanda buruk."
"Yang bener aja," kata Justin sambil tersenyum meyakinkan. "Itu cuma mimpi buruk."
Maggie kaget ketika Justin melompat berdiri dari kursinya. Cowok itu meletakkan tangannya yang kukuh ke bahu Maggie. Lalu mengecup bibirnya.
Kecupan yang lama dan penuh gairah. Maggie merasakan tangan Justin membelai-belai punggungnya. Baru detik itu dia tahu betapa inginnya dia dipeluk dan dikecup seperti itu.
Selesai berciuman, mereka seakan kehabisan napas.
Jantung Maggie berdegup kencang di dalam dadanya. Dia mencium pipi Justin beberapa kali.
Kemudian matanya melihat ke ambang pintu di balik punggung Justin.
Dan melihat ternyata mereka tidak sendirian. Seseorang berdiri dalam bayang-bayang, memandangi mereka.
Gadis dari mimpinya itu!
Chapter 5
MAGGIE berseru keras tertahan, membuat Justin memutar badan karena kaget.
"Andrea... hai!" serunya.
Andrea?
Maggie memandang lebih cermat. Ya. Memang Andrea.
Apakah dia memata-matai aku dan Justin? pikir Maggie marah.
"Mana kameramu? Kau mau memotret kami?" tanya Maggie sinis.
"Hah?" Andrea pura-pura tidak mengerti.
"Sejak kapan kau berdiri di situ?" bentak Maggie.
Tanpa memedulikan kemarahan kakaknya, Andrea melangkah masuk ke kamar. "Aku hanya ingin tahu apa kau sudah mengeluarkan kaus kaki dari kotak," katanya. "Punyaku nyelip entah di mana. Lihat!" Dia mengangkat satu kakinya yang telanjang dan menggoyang-goyangkan jarinya.
Dia mengecat kuku kakinya dengan warna merah ceri. Kakinya terangkat tinggi-tinggi hingga dia nyaris kehilangan keseimbangan.
Maggie terus memelototinya. Bohong! Andrea sengaja berbohong. Kaus kaki! Tetapi dia pergi juga ke lemarinya.
"Aku lihat kau main bagus melawan Waynesbridge," kata Andrea pada Justin sambil menunduk, terlalu malu untuk menentang mata cowok itu.
"Apa katamu?" tanya Justin, tidak memperhatikan. "Oh, ya, terima kasih."
Jelas Andrea tersinggung. Maggie tahu, tidak dipedulikan cowok seperti Justin sejuta kali lebih menyakitkan dibandingkan apa
yang mungkin dikatakannya. "Ini, tangkap," kata Maggie. Dilemparkannya sepasang kaus kaki putih yang tergulung kepada Andrea.
Begitu adiknya keluar, Maggie menutup pintu.
"Kenapa dia?" tanya Justin.
"Dia benci aku," jawab Maggie.
"Dia cuma iri," kata Justin. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Maggie, dan merengkuh gadis itu.
Maggie melangkah mundur. "Dengar, waktu aku melihat dia berdiri di ambang pintu, aku jadi ingat mimpiku lagi."
"Oh ya?" Justin meraihnya lagi, tetapi Maggie menghindar.
Dia duduk di kursi, hingga Justin tak bisa menariknya. Andrea telah membuatnya kesal dan merusak suasana hatinya yang semula romantis. Dia merasa perlu bicara.
"Justin," katanya sambil merenung. "Aku tahu ini kedengarannya konyol. Tetapi aku belum pernah mimpi buruk yang membuatku ngeri. Mau tak mau aku berpikir, bagaimana kalau mimpiku itu merupakan peringatan?"
"Peringatan apa?"
Dia bergidik, merasakan kengerian yang muncul semalam. "Aku tak tahu. Hanya peringatan. Peringatan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi."
"Lupakan saja. Takkan terjadi apa-apa," Justin meyakinkannya. "Kau hanya tegang, Mags, karena pindah rumah dan karena..."
Dia tidak meneruskan kata-katanya, napasnya tercekik.
Matanya terbelalak penuh kengerian, mulutnya ternganga. Dia menekan dadanya.
"Justin?" jerit Maggie.
Tangan Justin memegangi lehernya. Dia mengeluarkan suara parau seperti orang tercekik, sambil berjalan terhuyung-huyung mendekati Maggie.
Suara orang tercekik lagi. "Tak... bisa... bernapas..."
Sebelum Maggie sempat memeluknya, Justin sudah terkulai di lantai.
Chapter 6
MAGGIE berdiri di dekatnya. "Justin? Justin?"
Kemudian ditendangnya Justin—dengan lembut—ketika dilihatnya perut cowok itu bergerak naik-turun.
"Kau sialan!" pekiknya. "Kau membuatku takut setengah mati!"
Justin memegang betis Maggie lalu tertawa keras-keras. Suaranya tinggi melengking.
"Sedetik pun aku tak percaya ulahmu tadi!" seru Maggie.
"Bohong!" balas Justin. "Kau ketipu! Kau nyaris pingsan!"
"Nggak lucu!" Maggie menendang Justin lagi.
Beberapa detik kemudian mereka tertawa-tawa sambil bergumul di karpet. "Terima kasih, kau membuatku bisa tertawa lagi!" kata Maggie senang.
Dia menekan kedua bahu Justin ke lantai, kemudian melompat berdiri sambil berseru riang penuh kemenangan.
"Beri aku kesempatan!" kata Justin menuntut jawab.
***************
Dawn Rodgers memasukkan lengannya yang panjang dan berkulit sehat kecokelatan ke bawah tali baju renang hitamnya yang bermerek Speedo. Dirapikannya baju renangnya. "Ayo, semuanya! Kalian siap latihan?" serunya.
Dawn menyerukan pekik peperangan. Suaranya dipantulkan dinding-dinding ruang ganti yang setengah kosong.
"Oh, jangan keras-keras, Dawn," erang Tiffany Hollings sambil menutupi telinganya. "Kita takkan bisa dengar bunyi peluit start."
Dawn tertawa. "Kau pasti dengar. Dan inilah yang akan kaudengar." Dia menangkupkan kedua telapak tangannya pada
mikrofon. "Berenang dua ratus meter Gaya Ganti mewakili Shadyside, di jalur satu—Dawwwwwwnnn Rodgers!"
Maggie duduk di bangku di samping Dawn, mengepang rambutnya sambil tersenyum lebar. Menirukan suara pembawa acara, dia menambahkan, "Tapi apa ini? Dawn mengenakan pakaian tenis putih! Oh, lihat, pasti akan membuat gerakannya jadi lamban."
Dawn, Maggie, dan Tiffany tertawa mendengar lelucon itu. Hanya Andrea, yang asyik mengaduk-aduk lokernya di sudut, kelihatannya tidak mendengar.
Coach Randall meminta keempat gadis itu datang berlatih lima belas menit lebih awal, agar bisa berlomba selagi masih segar. Ketika itu pintu ruang ganti terbuka. Carly Pedersen, Claudia Walker, dan Renee Larson, semua anggota tim renang, masuk ke ruangan. "He, kalian, semoga berhasil hari ini!" seru Carly.
Maggie nyengir dan melambai, tapi jantungnya berdegup kencang. Ah, selalu begini.
Dalam lomba renang, peserta melakukan somersault setiap kali menyelesaikan satu lap, menjejak dinding dengan kaki. Gerakan ini disebut flip turn. Kira-kira lima menit sebelum setiap perlombaan, jantung dan perut Maggie mulai melakukan gerakan flip turn.
"Oke, oke," kata Andrea tiba-tiba, sambil membanting pintu lokernya. "Kausembunyikan di mana, Maggie?"
Maggie menoleh kepada adiknya, kaget. "Sembunyikan apa?"
"Topi renangku. Kausembunyikan di mana?"
Gila! pikir Maggie. Andrea selalu menuduhnya macam-macam. "Kau kehilangan topi renangmu?" tanya Maggie.
"Aku kehilangan topi renangku?" Andrea menirukan dengan sengit. "Lucu sekali. Ayo, berikan."
Semua yang ada di ruang ganti memandang mereka. "Andrea," kata Maggie sesabar mungkin, "aku tak menyembunyikan topi
renangmu." Dia membungkuk di depan lokernya. "Ini, aku punya ekstra satu."
"Aku tak perlu yang ekstra. Aku mau punyaku," Andrea berkeras.
Andrea melemparkan hampir semua barangnya ke lantai. Tiffany menunjuk sesuatu berwarna putih yang mengintip dari balik tas punggung Andrea. "Itu yang kaucari?"
Andrea menarik tas punggungnya. Benar, itu topi renangnya. "Oh... ya," gumamnya, wajahnya merah padam.
Beberapa gadis lain di ruang ganti mulai cekikikan, membuat wajah Andrea semakin merah. Maggie membuang muka. Bahkan ketika Andrea bertingkah seperti gadis manja, Maggie tidak tega melihat adiknya dipermalukan.
Tiffany selesai berganti pakaian lalu mulai melakukan gerakan pemanasan. "Aku pasti gagal!" katanya sambil membungkuk ke lantai.
"Kau tegang sekali, ya?" tanya Dawn. "Rileks. Tak usah cemas. Kau selalu berenang dengan bagus. Lagi pula, kita ini kan satu tim, ya kan?
"Benar," Maggie menimpali sambil melirik Andrea.
Pintu ruang ganti membuka, Coach Randall melangkah masuk sambil membawa clipboard-nya.
Martha Randall bertubuh jangkung dan kurus seperti tongkat, bahkan lebih kurus dari pada Maggie. Dulu sebagai perenang remaja, prestasinya sampai ke babak penyisihan tim renang Olimpiade. Sekarang usianya empat puluhan, sikap dan kemampuan renangnya masih sama seperti juara sejati. Itu kualitasnya yang sangat dikagumi Maggie.
Coach Randall tak banyak bicara. Hari ini bukan perkecualian. "Oke, kalian berempat bersiap untuk dua ratus meter Gaya Ganti," katanya sambil mencermati clipboard-nya. " Ayo!"
Ini bagian latihan renang yang dibenci Maggie, saat sebelum menceburkan diri ke air. Dia tahu dia tidak akan mengalami hambatan begitu lomba sudah dimulai. Tetapi, ketika mereka berjalan dengan kaki telanjang ke arah kolam, dia mulai pusing. Mereka menyusuri selasar panjang menuju ke kolam renang.
Bau uap dan klorin yang sangat dikenalnya menyambutnya. Air kolam beriak lirih, ombaknya menyentuh tepi kolam dengan irama lembut.
"Semoga sukses," bisik Maggie kepada Andrea.
Sekilas Maggie melihat bangku-bangku penonton di sekeliling kolam. Beberapa anggota tim renang lainnya telah mengenakan pakaian renang dan kini duduk menonton. Mereka melambaikan tangan. Maggie membalas lambaian mereka.
Dawn benar, kata Maggie pada diri sendiri.
Mengapa aku gugup? Sepanjang tahun ini aku sudah berlomba melawan ketiga gadis ini.
"Ayo mulai," kata Coach Randall ringkas. Dia mengecek clipboard-nya. "Tiffany, jalur satu; Andrea, dua; Maggie, tiga; Dawn, empat."
Keempat gadis itu membungkuk, mencedok air dengan kedua telapak tangan dan membasahi badan mereka. Kemudian mereka mengambil posisi masing-masing di tempat start.
Sebelum mengenakan kacamata renangnya, Maggie meludahinya untuk melembapkan pinggiran karetnya. Dia selalu melakukan itu, untuk memastikan karet penutupnya kedap air. Tetapi kali ini dia tidak bisa meludah, mulutnya terasa kering.
Gugup, gugup, dia memarahi dirinya sendiri.
Dia melirik Andrea. Adiknya memandang lurus ke depan, wajahnya dingin dan penuh tekad.
Di sebelah kanan Maggie, dengan gugup Dawn melemaskan jari-jarinya. Maggie sudah cukup lama kenal Dawn Rodgers untuk
tahu bahwa sikap mantapnya sebenarnya hanya pura-pura. Dawn gugup menghadapi perlombaan itu, sama seperti Maggie.
"Oke, dua ratus meter Gaya Ganti," Coach Randall mengingatkan mereka. "Kupu-kupu, punggung, dada, bebas—urutannya begitu, masing-masing gaya dua lap. Ada pertanyaan?"
Tak ada pertanyaan, kecuali satu pertanyaan yang diam-diam selalu mengusik hati mereka: Siapa yang akan menang?
Coach Randall membungkukkan badan, bersiap mengawasi perlombaan dan menentukan siapa yang lebih dulu mencapai finish.
Maggie menggeleng, mencoba mengenyahkan pening kepalanya. Dalam pikirannya berkecamuk macam-macam hal—Andrea, rumah baru itu, Justin...
Dia tahu, kalau ingin memenangkan perlombaan ini, dia harus berkonsentrasi. Fokus! katanya pada diri sendiri. Fokus!
Di bawahnya, air membiru, tenang, dan dingin. Keempat gadis itu bersiap mengambil start.
Coach Randall berteriak, "Ambil posisi, siap..." Kemudian peluit melengking tajam.
Maggie melompat.
Tubuhnya masuk ke air, meluncur ke permukaan, kakinya menendang kuat-kuat.
Kunci keberhasilan gaya kupu-kupu adalah irama tendangan lumba-lumba. Maggie mencoba membayangkan kekuatan lumba-lumba yang dengan anggun berenang sambil berulang-ulang menyelam dan mengangkat tubuhnya ke permukaan air.
Tanpa terasa, lap pertama sudah diselesaikannya. Maggie menyentuh dinding dan melakukan somersault.
Flip turn yang sempurna.
Konsentrasi! Konsentrasi!
Mungkin dia terlalu cepat mulai. Ini baru lap kedua, tapi dia sudah letih, gerakannya melamban.
Konsentrasi!
Setengah lap gaya punggung, Maggie melihat Dawn menyalipnya di sebelah kanan. Kemudian Andrea mulai menyusulnya di sebelah kiri. Tak ada cara untuk mengetahui di mana posisi Tiffany, karena gadis itu berada dua jalur dari jalurnya.
Padahal tadi dia sudah memimpin! Pelatih meneriakkan instruksi-instruksi, kawan-kawannya berseru-seru memberinya semangat.
Namun suara mereka terdengar bagai gema yang tak jelas. "Ayo! Ayo!" hanya itu yang dapat didengar Maggie dengan jelas.
Berikutnya gaya dada.
Maggie bernapas dengan susah payah sekarang, setiap ototnya terasa nyeri.
Tetapi pikiran bahwa dia akan kalah lebih menyakitkan lagi.
Diam-diam dia memerintah dirinya sendiri: Lebih cepat! Lebih cepat!
Dia berusaha lebih keras, lebih keras lagi. Ketika itu dia hampir menyelesaikan gaya dada. Tetapi dia membuat putaran buruk di dinding.
Aku gagal! pikirnya.
Belum pernah dia benar-benar gagal dalam perlombaan penting sebelumnya.
Bisakah dia tetap menang? Sekarang atau tak pernah sama sekali.
Gaya bebas adalah keahliannya. Tetapi dia hanya punya dua lap untuk mengejar yang lain.
Dia merasa seperti mengapung di air. Teriakan dan pekik jerit di seputar kolam renang semakin nyaring dan seru. Mendekati dinding di seberang, Maggie menyalip Andrea—kemudian Tiffany.
Maggie terus mengejar. Dia berenang dekat sekali dengan pembatas jalur, tetapi tak ada waktu untuk meluruskan arahnya
sekarang. Dia hanya bisa berharap tangannya tidak menyentuh pembatas itu. Kalau sampai menyentuhnya, dia pasti kalah.
Lebih cepat! Lebih cepat lagi!
Dia menarik tubuhnya ke depan, mengaduk air dengan sekuat tenaga. Dia hanya beberapa inci di belakang Dawn sekarang.
Tinggal beberapa kayuhan lagi.
Dia mengayuh sekuat tenaga dan mengulurkan tangannya menyentuh dinding. Telapak tangannya yang basah menyentuh dinding....
Tak sampai sedetik kemudian....
Dawn menyentuh dinding.
Maggie yang pertama.
Tiffany menyusul sedetik kemudian.
Dan satu kayuhan di belakangnya—Andrea menyusul di posisi keempat.
Maggie memegang dinding dengan kedua tangannya. Napasnya megap-megap. Dia memandang Coach Randall sambil tersenyum riang. Pelatih itu memeriksa stopwatch dan membuat catatan di clipboard.
"Posisi pertama, Maggie Travers," serunya. Maggie tidak memedulikan kata-katanya selanjutnya, dia menjejakkan kakinya ke dinding lalu berenang santai gaya punggung untuk melemaskan ototnya.
Kemudian dia berbalik dan mengangkat badannya dari dalam kolam. Setelah berenang sekuat tenaga, lengannya terasa sakit dan tubuhnya rasanya berat sekali.
"Finish yang bagus, Maggie," kata Coach Randall sambil tersenyum kepadanya.
Wajah Maggie berbinar. Pujian Coach Randall lebih berharga daripada emas.
"Lain kali aku mau lihat kau menambah kecepatan di gaya kupu-kupu dan gaya punggung," tambah pelatih itu.
Coach Randall tidak pernah memberikan pujian tanpa embel-embel kritik. Selalu ada yang harus diperbaiki dan disempurnakan.
"Asyik! Istirahat!" seru Dawn. Dia sudah keluar dari kolam renang dan sedang berjalan cepat ke arah Maggie dan Coach Randall. "Tadi terjadi interferensi! Anda tak melihatnya? Maggie berenang dekat sekali ke jalur saya!"
"Dia tak menyentuh pembatas," jawab Coach Randall tegas. "Kayuhannya membuat pembatas itu bergoyang."
"Hmm, lalu apa?" tantang Dawn. "Anda takkan membiarkannya, kan?"
"Tenang, Dawn," tukas Coach Randall tajam. "Kau di posisi kedua."
Andrea mengambil handuk dan melingkarkannya di sekeliling bahunya yang lebar. Maggie memandangnya penuh simpati. Andrea membuang muka.
Dasar anak tak tahu diuntung!
Tiffany duduk di pinggir kolam, menendang-nendang air dan menggeleng-geleng murung.
"Ayo, anak-anak," kata Coach Randall sambil tersenyum. "Jangan putus asa. Ini baru salah satu lomba. Masih ada tiga lagi."
Maggie mengangkat wajahnya dan melihat Dawn memandangnya dengan sengit, napasnya terdengar memburu. "Dawn," kata Maggie, "Maaf. Aku tak bermaksud..."
"Tentu saja tidak," tukas Dawn sambil memutar-mutar bola matanya.
Maggie melihat Andrea mengawasi mereka, jelas senang melihat mereka bertengkar.
"Ayo," Coach Randall memanggil gadis-gadis yang duduk di bangku. "Semua masuk kolam!"
Maggie mengerang. Pertandingan tadi benar-benar menegangkan. Dia lupa, mereka masih harus berlatih sejam lagi!
Ketika latihan selesai, tenaga Maggie terkuras habis. Semua ototnya terasa nyeri.
Dia mandi di bawah pancuran berlama-lama.
Beberapa gadis mengobrol penuh semangat tentang latihan dan perlombaan tadi. Tetapi Maggie mengenakan pakaiannya tanpa berkata apa-apa, dia tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Dia yang terakhir keluar dari ruang ganti.
Dia berjalan ke arah kolam renang.
Sekarang hampir semua lampu sudah dimatikan. Mata Maggie masih pedas karena terkena klorin. Matanya terus berair, pandangannya kabur.
Maka, ketika sampai di pinggir kolam barulah dia melihat sesosok tubuh mengapung tertelungkup di sana.
Chapter 7
"DAWN!" jerit Maggie.
Di tengah kolam renang tubuh Dawn terapung-apung dipermainkan riak air yang lembut.
Hanya sedetik Maggie ragu. Kemudian dia terjun ke dalam air dengan pakaian lengkap. Ya Tuhan... semoga tak terlambat! Maggie berdoa. Tolong, Tuhan!
Ketika kepalanya muncul ke permukaan, Dawn masih beberapa meter darinya.
Oh... kau jangan mati! Jangan mati! Maggie berdoa.
Dawn mengangkat kepalanya.
"Dawn!". Maggie tergagap, berenang cepat mendekat dan meraih gadis itu.
Wajah Dawn berkerut kaget. "Lepaskan," katanya sambil mendorong Maggie menjauh. "Apa-apaan sih?"
Maggie berenang di tempat sambil memandang kawannya dengan terheran-heran. "Apa-apaan? Kau sedang ngapain?"
Dawn mengejap-ngejap, membuang air dari matanya. "Latihan napas, kaukira apaan?"
"Aku... kupikir kau mati!" Maggie tergagap-gagap. Dia menarik lengan Dawn lagi. Sulit baginya berenang di tempat dengan pakaian lengkap memberatinya.
Dawn tertawa. "Mati?"
Maggie ikut-ikutan tertawa, setengahnya karena lega, setengahnya karena malu.
"Kurasa kau kena kukerjain kali ini," kata Dawn sambil menepuk air. Air muncrat membasahi kepala Maggie.
"Kau sengaja, ya?!" Maggie mendesak, membalas Dawn dengan menepuk air.
Dawn berenang gaya punggung, menjauhi Maggie. "Tidak!" jawabnya tegas. "Bagaimana mungkin aku bisa tahu reaksimu akan konyol begini! Lihat saja kau sendiri! Nyebur ke kolam dengan pakaian lengkap!"
Dengan enggan Maggie mengakui bahwa dia memang konyol.
Dawn tertawa keras. Terpingkal-pingkal. Akhirnya, Maggie pun ikut-ikutan tertawa. Kedua gadis itu tertawa sampai sakit perut, suara mereka menggema, dipantulkan atap yang tinggi.
************
Selasa malam. Maggie berusaha keras untuk tidur.
Sambil memandang kanopi di atas kepalanya, dia mencoba menjernihkan pikirannya, mengendurkan ototnya, santai—santai.
Ketika matanya terpejam, dia merasa ada sesuatu yang menariknya ke bawah.
Dia merasa seperti disedot ke dalam kegelapan oleh kekuatan yang tak terlihat.
Kegelapan yang berubah menjadi kabut kelabu yang berputar-putar.
Ketika kabut itu berputar di sekeliling dirinya, Maggie merasa dirinya melayang semakin rendah. Menurun, semakin turun, menuju ke sebentuk segiempat merah jambu.
Fokus! Fokus! Segiempat merah jambu itu berubah menjadi kanopi ranjang antik bertiang empat.
Di bawah kanopi, Maggie bisa mendengar bunyi napas seseorang. Seseorang yang mengerang, "Jangan... jangan..."
Maggie melayang turun, menembus kanopi merah jambu. Menuju ke ranjang itu.
Dia melihat gadis itu, yang sedang berguling-guling gelisah di balik selimut merah jambu. Gadis berambut pirang abu-abu.
Maggie tahu dia sedang bermimpi, tetapi entah mengapa, kesadaran itu membuat mimpinya dua kali lebih mengerikan.
Kamar itu dingin, tetapi butir-butir keringat tampak berkilat di punggung telanjang gadis itu. Kini dia terbaring diam, wajahnya terpaling. Kalau saja Maggie bisa melihat wajahnya! Maggie ingin memanggil gadis itu dan memalingkan wajahnya menghadapnya. Tetapi ketika dia membuka mulutnya, suaranya tak mau keluar.
Gadis ini dalam bahaya. Maggie tahu.
Kemudian dia tahu sebabnya. Penyebab itu tiba-tiba muncul begitu saja, seperti bayang-bayang yang menggelinding melewati tubuhnya. Dia dan gadis itu tidak sendirian. Ada sosok lain di kamar itu!
Maggie memutar badannya. Dan melihat... Kilap bilah pisau tajam di dalam gelap! Kemudian, tiba-tiba saja, kegelapan itu meledak penuh ancaman dan sesosok makhluk melompat menerjang.
Gadis berambut pirang itu mencoba menghindar. Kepalanya membentur kepala ranjang. Kemudian pisau itu terhunjam, mengiris udara.
Maggie mengejat kuat dalam tidurnya, begitu kagetnya, sampai terbangun. Dia berbaring dalam kegelapan, napasnya megap-megap, jantungnya berdegup kencang, matanya masih terpejam.
Ini hanya mimpi, katanya pada diri sendiri. Hanya mimpi, hanya mimpi, hanya...
Bayang-bayang dalam mimpinya tak mau enyah dari pikirannya. Kanopi merah jambu! Kanopi merah jambu yang sama dengan yang dilihatnya ketika dia membuka mata. Kanopi itu. Kanopinya.
Gadis dalam mimpinya itu tidur di ranjangnya!
Kesadaran itu membuat jantung Maggie berdegup semakin cepat. Apa artinya ini?
Aku hanya stress, katanya pada diri sendiri, sambil mencengkeram seprai. Aku tidur di ranjang baru. Jadi aku mimpi tentang ranjang ini. Itu saja.
Namun pikiran yang mengerikan melintas di benaknya—seperti yang pernah dipikirkannya waktu itu. Mungkin mimpinya merupakan peringatan. Mungkin alam bawah sadarnya mencoba memperingatkannya tentang sesuatu, lewat mimpi.
Tapi apa? Apa?
Dia memejamkan mata lalu berguling dan berbaring miring. Kemudian dia membuka mata dan memandang jendela.
Saat itu barulah Maggie merasakan hadirnya sosok asing di dalam kamarnya. Matanya terbelalak. Mulutnya mengerinyut, memekikkan jeritan yang tak terdengar.
Gadis itu berdiri dalam kegelapan, di samping ranjang Maggie, menatapnya, menatap wajahnya.
Dengan napas tersengal-sengal Maggie beringsut mundur, kepalanya membentur kepala ranjang.
Dia tak bisa menghindar.
Gadis itu mengulurkan tangannya, meraihnya.
Chapter 8
MAGGIE membuka mulut, ingin berteriak.
"Ini aku,aku,aku!" bisik gadis itu berulang-ulang, nyaris putus asa.
Maggie berhenti berteriak dan menutupi mulutnya dengan tangan, bahunya bergerak naik turun.
Gadis itu membungkuk semakin dekat, cukup dekat hingga Maggie bisa mengenali wajahnya.
"Andrea!"
"Kau tak apa-apa?" Wajah Andrea tampak cemas.
"Andrea!" gumam Maggie. "Aku selalu melihatmu dalam mimpiku. Aku selalu keliru, merasa melihatmu di mimpi. Kenapa?"
Andrea meremas tangan Maggie. "Kau ngaco. Sadar, Maggie. Kau membuatku ngeri."
"S-s-sori," gagap Maggie. Dia duduk dan menggeleng-geleng, mencoba mengenyahkan bayangan mimpinya.
"Kau mengerang-erang dan menjerit-jerit ketakutan," bisik Andrea. "Kupikir sebaiknya kau kubangunkan."
Maggie menelan ludah dengan susah payah. Mulutnya kering. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Oh."
"Mimpi buruk lagi?" tanya Andrea, sambil duduk di pinggir ranjang.
"Ya," jawab Maggie dari balik tangannya. "Sama dengan yang malam itu. Tapi kali ini..."
"Apa?"
Maggie memejamkan matanya rapat-rapat, membayangkan mimpinya lagi. "Kali ini gadis itu ditikam! Mengerikan. Dia ditikam, dan aku... aku tak bisa menolongnya."
"Siapa yang menikamnya?" tanya Andrea. "Aku tak tahu. Aku tak bisa melihatnya."
"Seperti film horor saja," kata Andrea.
"Memang. Tapi mainnya di kepalaku ini." Mereka diam beberapa saat. Keheningan yang tidak benar-benar senyap. Rumah tua yang bobrok itu penuh bunyi-bunyi aneh—derit dan derak.
"Apakah jeritanku membuatmu terbangun?' tanya Maggie, suaranya masih bergetar.
"Tidak," kata Andrea. "Aku belum tidur. Aku tak bisa tidur. Aku turun, mau cari minum—tebak, Gus tidur di mana?"
"Dekat kursi goyang?"
Andrea mengangguk.
"Gus tolol," Maggie mendesah penuh sayang.
Resminya Gus itu anjing Maggie. Tetapi nyatanya, Gus anjing Mr. Travers. Ke mana pun Mr. Travers pergi, Gus selalu mengikutinya. Gus selalu tidur dengan menumpangkan kepalanya di pangkuan atau di kaki Mr. Travers.
Malam hari Mr. Travers suka membaca sambil duduk di kursi goyang, jadi, tempat itulah tempat favorit Gus untuk tidur.
Entah dari mana, terdengar sesuatu dibanting. Maggie terlonjak kaget.
"Tenanglah," seru Andrea. "Kau membuatku takut."
"Aku benci rumah ini," kata Maggie tiba-tiba.
"Bukan cuma kau."
"Aku merasa rumah ini ada hantunya."
"Oh, jangan," kata Andrea memohon. "Aku pasti takkan bisa tidur."
"Tidak, kau pasti bisa. Bukan kau yang mendapat mimpi buruk."
"Maggie, kau harus menenangkan diri. Jangan tegang begitu. Itu kan cuma mimpi."
Maggie tidak mendengarkan. Di kepalanya, mimpinya mulai lagi. Sesuatu membuatnya merasa tidak enak—mengusik batas kesadarannya.
Apakah itu? Apa yang ingin diingatnya dengan jelas? Dia tak bisa mengingat dengan jernih.
Andrea berdiri. Dia meraba salah satu tiang ranjang. "Percaya nggak? Seharusnya kauberikan saja ranjang ini padaku. Ranjang ini membawa sial. Ranjang ini membuatmu mengalami mimpi buruk."
Maggie menatapnya seakan tidak mendengar apa yang dikatakan adiknya. "Ranjang ini...," katanya. Itu dia! Dia mengulurkan tangannya dan mencengkeram lengan adiknya. "Andrea, kau benar! Cewek dalam mimpiku, cewek yang terancam bahaya itu. Dia tidur di ranjang ini!"
"Itu sih serem," Andrea mengakui. "Dan dia dit..."
Dia membiarkan pertanyaannya tidak selesai. Maggie menyelesaikan kalimat yang terputus itu. "Ditikam," gumamnya pelan. "Dengan pisau. Berkali-kali. Kau belum paham juga? Aku tahu, itu terlalu nyata untuk kenyataan," Maggie mendesah dengan perasaan gundah.
"Apa maksudmu?"
"Pemiliknya sengaja meninggalkan ranjang cantik ini. Pasti ada apa-apanya."
Andrea menggeleng-geleng. "Biasanya kau tak begini, Maggie."
"Ada yang tak beres di sini," bisik Maggie, mengucapkan apa yang dipikirkannya. "Aku bisa merasakannya."
"Kaulihat wajah cewek itu kali ini?" tanya Andrea.
Maggie menggeleng. "Tidak."
"Hmm. Seperti apa dia?"
"Rambutnya pirang panjang. Pirang keabu-abuan."
"Pirang keabu-abuan," ulang Andrea sambil merenung.
"Kenapa?" tanya Maggie gugup. "Kau tahu siapa dia?"
"Tidak," sahut Andrea sambil tersenyum. "Aku hanya menebak-nebak, aku tak punya bayangan siapa dia."
Maggie menunggu sampai Andrea menjelaskan.
"Hmm, kedengarannya ini memang gila," Andrea melanjutkan. "Tapi kau ingin tahu apa yang menurutku membuatmu bermimpi buruk?"
"Apa?"
"Kau terlalu tertekan karena urusan tim renang itu. Sepertinya kau merasa harus jadi nomor satu."
Maggie mengerutkan kening, "Lalu? Aku ingin berprestasi sebaik-baiknya. Apa itu salah?"
"Tidak. Jangan defensif dong."
"Aku nggak defensif," kata Maggie berkeras.
"Hmm, cuma itu yang bisa kukatakan," kata Andrea. "Menurutku, itu bisa jadi penyebab. Mungkin dengan meninggalnya Dad, lalu kita pindah ke rumah ini, dan kompetisi renang itu—semuanya terlalu berat buat otakmu. Otakmu keberatan beban."
"Apa hubungannya berenang dengan cewek yang mati ditikam?" Maggie menuntut jawab, suaranya meninggi.
Andrea mengangkat bahu, seolah baginya hubungan itu jelas sekali. "Mungkin kau ingin mencederai kami semua agar kau bisa menang."
"Itu... itu benar-benar nggak masuk akal!" protes Maggie.
"Oke, oke," potong Andrea cepat-cepat. "Lupakan aku pernah mengatakannya. Aku bukan psikiater. Bagaimana mungkin aku bisa tahu arti mimpi burukmu?"
Maggie menyesal telanjur bicara keras. Andrea hanya berusaha menolongnya. "Siapa tahu," kata Maggie. "Mungkin memang tim renang yang membuatku sangat tertekan. Tapi aku harus bagaimana? Berhenti renang gara-gara mimpi buruk?"
"Bukan begitu. Tapi kau bisa sedikit santai. Jangan memaksakan diri," Andrea menyarankan.
Maggie tertawa getir. "Bagus. Santai saja. Supaya kau yang dipilih dalam tim dua ratus meter Gaya Ganti, bukan aku, ya kan?"
Langsung saja mata Andrea berubah jadi kelam. Dia marah sekali.
Uh-oh, pikir Maggie. Aku kelepasan bicara.
"Kau benar-benar menjijikkan!" seru Andrea sambil menggeleng-geleng dengan kesal bercampur sedih. "Tak peduli apa pun yang kulakukan, kau selalu menganggapku punya niat buruk, ya kan?"
"Andrea, apa maksudmu? Aku..."
"Kaupikir aku bilang begitu karena aku ingin mengalahkanmu di lomba renang? Kaupikir ini cuma akal-akalanku?"
"Bukan begitu, Andrea, aku cuma bercan..."
"Dengar, Maggie, renang bukan segala-galanya bagiku. Yang benar aja!"
"Aku nggak bilang begitu, aku hanya..."
Andrea menuding-nudingkan telunjuknya untuk memberi tekanan pada apa yang dikatakannya. "Aku tak membutuhkan akal-akalan untuk mengalahkanmu. Karena aku bisa renang lebih cepat dan lebih baik darimu. Apa komentarmu, he?"
Maggie mendesah. "Andrea," katanya. "Kau salah mengerti. Aku tak bermaksud..."
Sekarang Andrea berdiri. "Jangan lakukan itu," bentaknya.
"Jangan lakukan apa?"
"Jangan mulai pura-pura tak bersalah dan bersikap manis setelah membuatku jengkel! Kau selalu begitu. Selalu!"
"Selalu apa?"
"Kau memanas-manasiku," kata Andrea. "Lalu kalau aku marah, kau pura-pura tak tahu mengapa aku marah, dan dengan begitu aku yang akan disangka gila."
"Andrea, kau memang gila!" Maggie menjerit karena frustrasi. "Kau sengaja memancing-mancing pertengkaran."
"Baik," bentak Andrea. "Ini semua salahku. Selalu aku yang salah. Kau si Nona Sempurna. Begitu, ya?"
Maggie mengangkat tangannya dengan putus asa. "Apa aku bilang begitu?"
"Aku ke sini karena mencemaskanmu," kata Andrea, suaranya bergetar. "Aku masuk ke kamarmu karena kau menjerit-jerit ketakutan. Dan inilah terima kasih yang kudapat!"
"Oh, Andrea," kata Maggie. "Lihat saja, kau langsung ngamuk hanya gara-gara komentar konyol yang kulontarkan tentang tim renang kita. Apa sih masalahnya? Kau dan aku sama-sama tahu kau tak benar-benar menginginkanku berprestasi sebaik-baiknya di tim renang."
"Dan bagaimana kau sendiri?" jerit Andrea marah. "Siapa yang mimpi tentang cewek yang mati ditikam, he? Mimpi berakar dari harapan, ya kan? Itu yang kupelajari di mata pelajaran psikologi. Jadi, kau berniat menikam siapa? Siapa yang menurutmu harus mati? Siapa?"
Apakah Andrea benar? Maggie merenung. Tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa dingin.
Tak mungkin aku punya pikiran segila itu, kata Maggie dalam hati.
Mimpi itu tak mungkin menyuruhku menikam seseorang.
Mimpi itu tak mungkin memperingatkanku bahwa aku akan menikam seseorang!
Karena dalam mimpi itu aku tak berada di pihak si penikam, kata Maggie dalam hati; menyadari posisinya dalam mimpi. Aku tak mengidentifikasikan diriku dengan si penyerang. Aku mengidentifikasikan diriku dengan si korban!
Chapter 9
MAGGIE memutar nomor kombinasi kunci lokernya untuk ketiga kalinya. Apa-apaan aku ini? Dia tidak bisa memfokuskan matanya.
Apakah ke 22 kiri? Atau kanan? Dia harus tahu. Dia sudah ribuan kali membuka kunci loker ini.
Dia menekan pegangan pintu kuat-kuat ke bawah, akhirnya kunci itu mau membuka. Diletakkannya buku sejarah dan matematika di rak paling atas.
Hari itu Jumat. TGIF—Thanks God It's Friday, pikirnya tanpa semangat. Mengapa aku lesu sekali? Karena kurang tidur.
Setiap malam, setiap kali naik ke ranjang, dia takut mendapat mimpi buruk lagi. Mimpi itu tidak kembali. Tetapi membayangkannya saja sudah membuatnya ngeri setengah mati. Tidurnya gelisah. Setiap suara dan bunyi di rumah itu terdengar menyeramkan. Dia belum pernah bisa tidur nyenyak sejak pindah ke Fear Street. Maggie mendorong buku teks bahasa Inggrisnya jauh-jauh ke dalam loker. Tugas hari itu adalah membaca cerita tentang anak laki-laki yang selalu berpikir ada hujan salju. Padahal nyatanya tidak. Pikiran-pikiran itu memenuhi pikirannya. Akhirnya anak itu jadi gila.
Bacaan yang cocok sekali buatku! katanya sinis pada diri sendiri.
Dia mengambil catatan untuk kelas geologi Mrs. Harrison, mengunci loker, lalu mengikuti arus murid-murid lain yang berjalan di selasar yang bising. Tinggal sejam pelajaran lagi.
Sesudah itu dia harus berlatih renang. Dia letih sekali, kakinya berat seperti besi tuang. Lupakan saja keinginan untuk jadi juara
pertama di lomba apa pun. Bisa-bisa dia langsung tenggelam ke dasar kolam!
Kelas geologi satu lantai di bawah lantai ini. Dia bergabung dengan mereka yang sedang menuruni tangga. Sinar matahari menembus lewat jendela-jendela kaca di sepanjang selasar. Cahayanya menyinari kepala berambut merah di depan sana.
"Andrea!" serunya.
Dia bergegas menyusul adiknya. Dia tak bisa menembus padatnya kerumunan murid, suaranya tenggelam dalam ributnya percakapan dan tawa mereka.
Kemudian, beberapa meter di depannya, dia melihat Dawn, tertawa riang sambil berjalan menuruni tangga bersama dua cowok anggota tim basket.
"Sori, sori..." Maggie mendesak maju.
Dia tidak tahu mengapa. Tiba-tiba dia merasa tidak enak. Dia mendesak lebih kuat. "Hei," kata seseorang. "Lihat-lihat dong. Jangan main dorong!"
Jantungnya mulai berdegup lebih kencang. Mengapa dia merasa aneh?
"Dawn!" panggilnya lagi.
Bergerak mengikuti arus, Maggie sekarang menuruni tangga.
"Hei... Dawn! Oh!" Maggie menjerit ketika melihat Dawn kehilangan keseimbangan. Dia mendengar jerit melengking.
Dan melihat Dawn terjungkal.
Semua terjadi dalam sepersekian detik, tetapi sepersekian detik itu serasa lama sekali, seakan semua terjadi dalam gerak lambat.
Dawn terjungkal ke depan, terguling-guling di tangga.
Buku-bukunya terlempar.
Kepalanya membentur tangga dengan bunyi "krak!"—yang lebih keras dibandingkan pekik jerit orang-orang di situ.
Sekali lagi "krak!" ketika Dawn terguling ke kaki tangga.
Kedua kakinya terpuntir dan tertindih tubuhnya.
Rahangnya terbuka, lemas terkulai. Matanya menatap kosong.
Dawn tidak bergerak.
Chapter 10
TRAPPER KEEPER Maggie lepas dari lengannya dan terpental-pental di tangga. Maggie mengangkat tangannya, menutupi wajahnya, berusaha mengenyahkan pemandangan mengerikan itu: di kaki tangga kawannya terkapar dengan kaki terpuntir.
"Dawn... Dawn...," gumamnya.
Ruang tangga bergema oleh teriakan dan jeritan. Murid-murid mengerumuni Dawn.
Dari dekat puncak tangga, Maggie melihat Dawn mulai merintih kesakitan. "Tanganku!" jerit Dawn. "Tanganku... tanganku patah."
"Panggil guru!" teriak seseorang. "Tolong telepon 911!"
Murid-murid berpencar. Maggie mendengar jerit panik minta tolong.
Seseorang mencoba menolong Dawn untuk duduk. Tetapi gadis itu memekik kesakitan ketika disentuh.
"Tanganku... tanganku...," jeritnya memilukan. "Ada yang mendorongku!"
Maggie mengambil napas panjang lalu menuruni tangga sambil memegang birai erat-erat. Dia melihat Andrea di luar kerumunan itu.
Andrea berpaling dan memandang Maggie. Ekspresi wajahnya aneh sekali. Setengah tersenyum, setengah sedih.
"Dawn, kau tak apa-apa?" tanya Maggie. "Apa yang terjadi? Kau terpeleset?"
Jawaban Dawn membuat Maggie membuang muka. "Tentu saja aku kenapa-kenapa. Aku didorong. Kau yang mendorongku? Kamu ya, yang mendorongku?" jerit Dawn sambil menangis.
"Oh?" Maggie nyaris tak mempercayai telinganya.
"Maggie...," Dawn berkata lemah, tangannya terpuntir ke belakang, air mata meleleh di pipinya yang pucat. "Kudengar kau memanggil-manggilku, Maggie. Kemudian... kau mendorongku."
Maggie kaget sekali. Kaget bercampur ngeri. Dia tergagap-gagap. "Oh? Dawn... tidak! Aku... aku tak mungkin! Aku tidak di dekatmu tadi. Maksudku..."
Maggie berpaling pada Andrea, meminta pertolongan. Tetapi Andrea hanya menunduk memandang lantai. "Katakan padanya, aku tak mendorongnya, Andrea," Maggie memohon.
"Aku... aku tak melihat apa-apa," gagap An-drea.
Di sekelilingnya, Maggie merasa murid-murid lain memandangnya dengan pandang menuduh. Maggie membalas tatapan mereka dengan tidak percaya. Apakah mereka pikir dia benar-benar tega mendorong seseorang dari tangga? Apakah mereka tidak mengenalnya dengan baik?
Sambil menangis, marah, bercampur kesal, dia mengambil Trapper Keeper-nya, berbalik, lalu naik tangga kembali ke lantai atas. Tak seorang pun menyingkir memberinya jalan.
Ketika sampai di selasar lantai atas, dia tak kuasa menahan tangis. Sambil berusaha agar tidak menangis keras-keras, dia berlari.
Bel berbunyi, tanda murid-murid harus kelas. Tetapi Maggie berlari ke toilet putri. Dia membanting pintu keras-keras, lalu menyandarkan badannya pada pintu itu.
Akhirnya dia sendirian.
Dia berpaling dan melihat wajahnya yang bersimbah air mata.
Mimpi itu. Sementara dia memandangi pantulan wajahnya di cermin, mimpi buruk itu melintas lagi di benaknya.
Rambut Dawn pirang. Gadis dalam mimpinya juga berambut pirang.
Andrea pasti menduga gadis yang dimaksudnya adalah Dawn ketika pertama kali mendengar tentang gadis itu.
Dan dalam mimpinya, gadis itu selalu jatuh terjengkang, ke belakang, kepalanya membentur kepala ranjang. Kepala Dawn membentur tangga yang keras, persis gadis dalam mimpinya.
Di cermin, Maggie melihat matanya melotot penuh kengerian. Bibirnya terkatup rapat ketakutan. Itu membuatnya semakin ngeri.
Apakah mimpinya menjadi kenyataan?
Kata-kata Andrea terngiang-ngiang di telinganya: Mimpi berasal dari harapan.
Mungkinkah, entah bagaimana, Maggie telah menyebabkan kecelakaan yang menimpa Dawn? Bahkan tanpa menyadarinya?
Êbûkûláwás.blÖgspÖt.cÖm
*****************
Dia berhasil mengikuti pelajaran geologi sampai selesai, tetapi sepanjang waktu pikirannya melayang ke tempat lain. Mrs. Harrison sedang menjelaskan rencana tugas lapangan yang dijadwalkan untuk Rabu depan.
Sekitar 45 menit perjalanan dari Shadyside terletak Glenn Rock Mountain. Gua-gua di Glenn Rock merupakan objek wisata yang terkenal.
Maggie tidak sungguh-sungguh mendengarkan penjelasan Mrs. Harrison. Setengah jam pelajaran, dia minta izin untuk menengok Dawn.
Maggie pergi ke kantor kepala sekolah. Kabar yang didengarnya tidak membuatnya lega. Tangan Dawn patah. Ada kemungkinan dia gegar otak.
Ketika akan pulang, Maggie berpapasan dengan Tiffany di selasar. "Kau percaya apa yang terjadi pada Dawn?" tanya Tiffany lirih. "Bisa-bisa dia mati!"
"Tiffany—kau harus mempercayaiku! Aku tak melakukannya!" Maggie menyemburkan kata-kata itu.
Terkejut, Tiffany memandangnya dengan matanya yang lebar. "Aku tak pernah berpikir kau yang melakukannya."
Dengan penuh terima kasih Maggie meremas lengan Tiffany. Tiffany memandang ke bawah. "Dengar. Dawn gegar otak. Pikirannya agak kacau. Itu sebabnya dia menuduhmu. Dia akan sembuh—jangan kuatir."
"Kuharap begitu," sahut Maggie, sambil menggeleng-geleng menahan tangis. "Ini sungguh mengerikan, Tiffany. Semua dorong-mendorong. Kau tahu seperti apa suasana di tangga di antara jam-jam pelajaran, ketika murid-murid pindah kelas. Aku yakin ini hanya kecelakaan."
"Tentu saja," kata Tiffany. "Tapi, dari sisi Dawn itu juga bisa dimengerti. Maksudku, kau punya alasan kuat untuk menyingkirkannya."
"Tiffany," kata Maggie, berusaha agar suaranya tidak terdengar mengiba-iba, "kau mengenalku dengan baik. Kau benar-benar berpikir aku tega mencederai Dawn hanya untuk memastikan aku masuk tim renang dua ratus meter Gaya Ganti?"
Tiffany menarik-narik rambutnya. "Tentu saja tidak. Lagi pula, kau pasti masuk. Kecuali kalau kau benar-benar gagal di tiga lomba berikutnya. Lagi pula, ada dua tempat yang diperebutkan."
"Jadi aku tak punya alasan untuk mendorong Dawn," Maggie berkeras. "Mengapa dia menuduhku? Tega benar dia. Aku sakit hati, Tiffany. Sakit hati sekali."
Tiffany melangkah maju dan memeluk Maggie dengan canggung. "Beri Dawn waktu," bisiknya. "Dia pasti akan kembali berpikir sehat. Beri dia waktu."
Maggie memaksa diri tersenyum. Kedua gadis itu berpisah dan melangkah ke arah yang berlawanan.
Maggie menghapus air mata di pipinya. Tiffany benar, dia tahu. Maggie harus menunggu untuk bicara dengan Dawn.
Maggie tak sanggup berlatih renang. Dia mengatakan sakit pada pelatihnya dan langsung pulang.
Begitu sampai di rumah, dia langsung melemparkan badannya ke sofa di ruang tamu dan membenamkan wajahnya di situ. Dia tidak ingin berpikir lagi. Dia sangat letih, tenaganya terkuras habis. Dia sangat membutuhkan istirahat.
Itu pikiran yang terakhir diingatnya. Ketika dia terjaga, ruangan itu sudah gelap.
Maggie mengerang lalu duduk. Dia merasa otaknya lengket di batok kepalanya. Tidur siang-siang membuatnya kehilangan orientasi dan gugup. Tapi, sekurang-kurangnya dia tidak mendapat mimpi buruk.
Kemudian dia mencium bau saus tomat, mendengarnya mendidih pelan di dapur. Ibunya muncul di ambang pintu dapur, memegang sendok kayu. Dia melambaikan sendok itu tersenyum. "Kau tidur waktu Mom pulang. Makan malam siap sebentar lagi. Favoritmu. Spageti dengan bakso nondaging." Sebenarnya itu bukan makanan favorit Maggie, Dia lebih suka bakso daging betulan. Tetapi Mrs. Travers vegetarian.
"Tidurmu nyenyak sekali, Mom tak tega membangunkanmu," kata ibunya. "Telepon berdering dua kali, tapi kau diam tak bergerak. Mom pikir kau benar-benar perlu tidur, Maggie."
Tidur nyenyak—untuk pertama kali! Itulah pertama kalinya Maggie tidur nyenyak di rumah baru mereka. Mengapa kali ini berbeda?
Dia langsung tahu jawabnya. Dia tidur di sofa—tidak di ranjang berkanopi itu.
Malam itu, dia berdiri di kamar tidurnya, memandangi ranjang tua yang cantik itu. Dia masih tidak mengerti mengapa pemilik sebelumnya tidak membawanya.
Mungkinkah karena ranjang itu ada hantunya?
Perasaannya terhadap ranjang itu sudah jauh berubah sejak pertama kali mereka pindah ke rumah itu! Pada hari pertama, ranjang itu menjadi pelipur kesedihannya karena terpaksa pindah rumah. Dia langsung jatuh cinta pada ranjang itu begitu melihatnya.
Sekarang, dia malah takut melihatnya.
*****************
Kebun belakang rumah nomor 23 di Fear Street kecil, berbatasan dengan pekarangan berumput milik tiga rumah lain. Pemilik sebelumnya membuat jalan setapak dari batu-batu ceper besar, dari pintu belakang, tetapi ketika baru beberapa batu dipasang, proyek itu sudah dihentikan.
Ada dua ayunan tua yang sudah berkarat. Maggie duduk di salah satunya. Ayunan itu dirancang untuk anak-anak, maka dia terpaksa menjulurkan kakinya yang panjang sebelum bisa berayun-ayun. Rantai penggantungnya yang sudah karatan berderit-derit ketika dia berayun-ayun.
Hari itu Sabtu pagi. Matahari bersinar cerah dan panas. Langit yang biru jernih dihiasi beberapa gumpalan awan putih. Biasanya Maggie terbangun dengan perasaan segar, siap beraktivitas. Tetapi, pagi itu tubuhnya letih sekali seperti kalau dia akan tidur malam.
Sepanjang malam dia terjaga—memikirkan Dawn, memikirkan mimpinya, dan menduga-duga kalau-kalau ada hubungan antara mimpinya dan kejadian itu.
Dia melihat ibunya sedang di kamar tidurnya. Maggie melambai dan mencoba tersenyum.
Dia turun dari ayunan lalu berjalan menyusuri semak-semak tak terurus yang membatasi pekarangan itu. Dia memetik beberapa buah
beri yang sudah masak dan memencetnya dengan jarinya, sehingga buah itu hancur dan mengeluarkan cairan merah seperti darah.
Ayolah, dia mengumpat diri sendiri. Kau harus mengenyahkan perasaan itu. Pikirkan yang lain.
Tetapi sia-sia saja. Dia tak bisa mengalihkan pikirannya. Apa kata pepatah? Gajah tak pernah lupa. Ya, dia tak bisa melupakan itu dan tak bisa mengalihkan pikirannya.
Dia duduk menyandarkan punggungnya ke batang pohon birkin putih yang halus. Mendongak, dia bisa melihat langit dari celah cabang dan ranting yang mulai bertunas. Angin lembut mengusir gumpalan-gumpalan awan.
Alangkah damainya. Alangkah tenangnya. Tak lama kemudian Maggie tertidur.
Tidur yang tenang, tanpa gangguan mimpi buruk. Tak ada pisau tajam. Tak ada gadis di balik selimut merah jambu.
Kemudian, ada tangan di bahunya. Kaget, dia membuka mata dan memekik tertahan.
Maggie melihat seorang laki-laki bertampang mengerikan mengulurkan tangannya ke lehernya. "Tak boleh lama-lama," bisik orang itu dengan suara parau.
Chapter 11
MAGGIE beringsut menjauh sambil menjerit ketakutan.
Orang itu mundur, matanya yang kelabu memancarkan kekagetannya.
"Maaf. Aku tak bermaksud membuatmu takut," katanya. "Aku... aku hanya tanya apakah kau sudah lama berjemur di sini?" Dia menunjuk langit. Matahari pagi sudah naik semakin tinggi, memanaskan pekarangan belakang itu.
"Oh... terima kasih," kata Maggie tergagap. Ketika dipandangi lekat-lekat, laki-laki itu tampak lebih jelas.
Ia sudah tua, wajahnya keriput, penuh cambang putih tak terurus. Ia mengenakan topi jingga yang sudah kusam, mulutnya mempermainkan sebatang tusuk gigi. Senyumnya memamerkan gigi kuning yang tidak rapi.
Dia mengulurkan tangannya. Beberapa detik kemudian Maggie sadar bahwa laki-laki itu hendak membantunya berdiri. Dengan enggan, Maggie menyambut tangannya dan bangkit berdiri.
Aku gampang kaget dan terlalu tertekan, pikirnya, kesal pada diri sendiri. Kupikir semua orang hendak mencelakakanku!
"Milton Avery," kata orang tua itu parau. Dia mengangguk dan menyentuh topinya dengan dua jarinya. "Aku tetanggamu."
Ia mengulurkan tangan kanannya kepada Maggie. Maggie menyalaminya. Tangan laki-laki tua itu memegangi tangannya lebih
lama daripada yang sewajarnya, sehingga Maggie tidak senang. Kulitnya terasa seperti kertas usang.
"Kau belum menyebutkan namamu," kata Mr. Avery.
"Oh, maaf. Maggie. Maggie Travers."
"Maggie Travers," ulang laki-laki itu. Dia mengangguk-angguk. "Nama yang manis."
Maggie tersenyum. "Terima kasih."
Lelaki itu membalas senyumnya dengan hangat. Dia melepas topinya. Kepalanya botak, hanya tinggal beberapa helai rambut ikal. Dia menggaruk puncak kepalanya, kemudian mengenakan topinya lagi. Dia menoleh ke arah rumah. "Senang sekali melihat rumah ini sudah berpenghuni lagi."
Maggie ikut-ikutan memandangi rumahnya, seakan belum pernah melihatnya.
"Sudah lama sekali ditawar-tawarkan, tak laku-laku," kata Mr. Avery.
Maggie merasa bulu kuduknya meremang. "Oh ya?"
"Lama sekali." Caranya mengucapkan kata itu membuat Maggie semakin ingin tahu berapa lama persisnya yang dimaksudnya. Tahunan? Puluhan tahun? Pasti orang ini tahu dan ingat.
Mr. Avery melanjutkan, "Aku tak suka bertetangga dengan rumah kosong. Membuatku merasa tak enak setiap kali menoleh ke sini. Kau tahu apa maksudku?"
Maggie tahu benar apa maksudnya.
Mr. Avery melepas topinya lagi dan menggunakannya untuk menunjuk rumahnya. "Aku bahkan membiarkan tirainya tertutup di sebelah sini. Jadi aku tak perlu melihat rumahmu."
Maggie memandang tirai yang masih tertutup itu dan sebuah pikiran terlintas di kepalanya. "Anda kenal orang-orang yang dulu tinggal di rumah saya?" tanyanya.
Mr. Avery tidak langsung menjawab. "Tidak kenal benar. Mereka tak lama tinggal di sini. Ceritanya menyedihkan. Menyedihkan."
Jantung Maggie berdegup kencang. "Mengapa... apa?"
Lelaki tua itu menatap wajahnya. "Orang real estate itu tak menceritakan kisah itu?"
"Tidak, kisah apa?"
Mr. Avery mengerutkan dahi. "Hmm, kurasa aku tak bisa menyalahkannya karena tak menceritakannya. Maksudku, Bob Jamison itu orang jujur, untuk ukuran salesman. Tapi sudah berbulan-bulan dia kesulitan menjual rumah ini. Mungkin dia pikir jika kau tak tanya, dia tak harus bercerita."
Dia berdehem. Matanya menatap mata Maggie lekat-lekat, pandangannya tajam. Mata itu sudah tua, abu-abu pucat, tetapi tatapannya jernih dan tajam.
"Dengar," katanya parau. "Istriku, Claire, pasti senang berkenalan denganmu. Gadis manis seperti kau akan membuat hari-harinya jadi cerah. Dia sangat membutuhkan yang seperti itu. Bagaimana kalau kau ke rumahku untuk minum teh? Akan kuceritakan kisah itu selengkapnya."
Maggie memandang rumahnya lagi, melihat kalau-kalau ibunya mengawasi mereka. Namun jendela kamar tidur ibunya gelap. "Kedengarannya menarik sekali," katanya.
Mr. Avery menunjuk celah di pagar tanaman. "Lewat sini," katanya. Dia melepas topinya, membungkuk, dan mempersilakan. "Silakan, kau dulu."
Rumah Mr. Avery hangat dan nyaman. Dindingnya penuh foto-foto keluarga—anak-anak, cucu-cucu.
Mrs. Avery sedang duduk di dapur, koran terlipat di samping piringnya. Dia sedang mengisi teka-teki silang. Wajahnya bulat seperti bulan, kepalanya ditumbuhi rambut halus yang sudah putih semua.
"Kukira tadi kau berkebun, Milton," katanya tanpa mengangkat wajahnya.
"Tadinya begitu, Claire," katanya.
"Tapi..." Mrs. Avery mengangkat wajahnya lalu tersenyum hangat.
"Ini tetangga baru kita," jelas Mr. Avery sambil meletakkan tangannya di bahu Maggie. "Claire, ini Martha..."
"Maggie," gadis itu mengoreksi.
"Maggie. Maaf. Maggie Travers."
Mrs. Avery bangkit sambil tersenyum lebar. Dia melangkah maju untuk menyalami Maggie. "Selamat datang di lingkungan ini," katanya. "Oh, aku senang sekali bisa berkenalan denganmu. Kau manis sekali. Apakah matamu hijau?"
"Ya," sahut Maggie dengan perasaan tidak enak.
"Cantik sekali," kata Mrs. Avery sambil mengangguk-angguk menyatakan kekagumannya. "Pasti menyenangkan jadi anak muda."
Minggu ini dia tidak punya pengalaman menyenangkan, itu pasti. "Mr. Avery akan menceritakan...," Maggie memulai.
"Kau mau minum teh?" sela Mr. Avery. "Dan kue jahe? Masih ada kuenya, Claire?"
Claire menghampiri kompor, menggoyang cerek untuk memastikan masih ada airnya, kemudian menyalakan kompor itu. "Aku tak tahu," katanya. "Lihat saja di tempat kue."
Maggie tak sabar lagi. "Apa yang terjadi di rumah saya?" tanyanya terus terang.
Mrs. Avery memandangnya dengan tajam. "Kau tak tahu?"
Berputar-putar lagi. "Tidak," sahut Maggie. "Saya..."
"Milton," Mrs. Avery berkata tajam, memandang suaminya dengan mata menyipit. "Kau mau menakut-nakuti gadis manis ini?"
Maggie merasa keringat mengalir membasahi tulang punggungnya. Jadi selama ini dia benar. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi di rumah itu. Dia tahu! Jadi, aku tidak gila! pikirnya.
Maggie duduk, mencoba bersikap tenang. Mr. Avery meletakkan topinya di meja. "Kisahnya menyedihkan," gumamnya.
"Oh, Milton, kita tidak kenal mereka dengan baik—keluarga Helfer," sela Mrs. Avery. Dia kembali ke kompor untuk mengangkat cerek yang airnya sudah mendidih. "Banyak kisah mengerikan di jalan ini..."
Mr. Avery melanjutkan, Ada gadis seumurmu—namanya Miranda. Gadis cantik berambut pirang."
Miranda!
Maggie langsung tahu bahwa Miranda pastilah gadis dalam mimpinya!
"Apakah Miranda tinggal di rumah saya?" tanya Maggie menggebu-gebu.
"Ya, dia dan keluarganya tinggal di rumahmu," jawab Mr. Avery.
"Milton, cukup," sela Mrs. Avery.
"Oh, tolong ceritakan," Maggie memohon.
"Dia mati dibunuh," wanita tua itu memuntahkan kata-kata itu. "Dibunuh."
"Dia ditikam," bisik Mr. Avery. "Ditikam di ranjangnya sendiri."
Chapter 12
JUSTIN memeluknya. Perasaannya aman.
Saat itu malam Minggu. Justin mengajaknya nonton film komedi. Maggie biasanya senang nonton film-film konyol, tetapi kali ini dia tidak bisa menikmatinya.
Seorang gadis dibunuh, benar-benar dibunuh, di ranjangku, dan sekarang aku bermimpi tentang dia. Pikiran itu berputar-putar di kepalanya.
Setelah film selesai, Justin tetap memeluknya ketika mereka keluar bersama para penonton lainnya, menuju pelataran parkir pertokoan itu. Malam musim semi itu udara sejuk dan segar. Bulan pucat setengah lingkaran melayang rendah di langit ungu.
"Kulihat kau tak menikmati film tadi. Aku juga tidak," kata Justin.
"Nggak, aku suka kok," Maggie berbohong. Tiba-tiba dia merasa ada yang mengawasinya.
Dia berpaling lalu melepaskan diri dari peluk n Justin.
Dawn, dengan tangan digips, berdiri di tepi pelataran parkir bersama Tiffany. Dia melambai ke arah Maggie. "Mau nggak menandatangani gipsku?"
"Dawn!" Maggie berseru kaget melihat gadis itu. Aku berkali-kali meneleponmu. Moga-moga kau tak berpikir..." Dia bergegas mendekati mereka. Justin menyusulnya perlahan-lahan.
Aku yang harus minta maaf," kata Dawn, sambil tersenyum hangat. "Aku mengucapkan kata-kata aneh setelah jatuh waktu itu."
"Kau harus percaya padaku. Aku tak mendorongmu, Dawn," kata Maggie singkat.
Dawn mengangkat bahu. "Yah, ada yang mendorongku. Tapi itu tak jadi soal sekarang." Dia tersenyum kepada Maggie. "Tiffany yang akan mengalahkanmu di dua ratus meter Gaya Ganti. Hai, Justin."
Justin mengangguk. "Hai." Kemudian dia menarik lengan Maggie, tak sabar ingin mengajaknya pergi.
Maggie menandatangani gips Dawn.
"Kami harus pergi," Justin mendesak.
"Sampai ketemu di tempat latihan," kata Maggie kepada Tiffany. Dia bilang akan menelepon Dawn. Lalu cepat-cepat menyusul Justin yang sudah berjalan ke mobilnya.
Maggie tak dapat menahan diri untuk tidak menoleh kepada kedua gadis itu. Meskipun tidak mendorong Dawn, Maggie masih tetap merasa bersalah.
"Aku tahu, Dawn mengira aku yang mendorongnya," kata Maggie kepada Justin. "Biarpun dia tak bilang begitu."
"Dawn memang begitu," kata Justin sambil membuka kunci pintu mobil di samping tempat duduk penumpang. "Kalau kalah di pertandingan, dia selalu mencari-cari alasan." Dia membukakan pintu untuk Maggie. "Dan kalau terpeleset, dia bilang didorong."
"Bisa saja," kata Maggie sambil merenung. Tetapi ketika masuk ke mobil, perasaannya yang sempat riang langsung lenyap. Perasaan tidak enak mengganggunya lagi.
Mobil Justin tempat duduknya dari kulit halus warna hitam. Maggie duduk bersandar di kursinya. Santai saja, katanya pada diri sendiri.
Justin menghidupkan mesin, kemudian menekan tombol di dasbor. Atapnya membuka, membiarkan cahaya bulan dan angin musim semi yang segar mengalir masuk. Dia tersenyum kepada Maggie. Mobil meluncur keluar dari pelataran parkir. Bannya berdecit-decit.
Mereka tidak bermobil jauh-jauh. Kira-kira satu blok dari pertokoan itu, Justin memarkir mobilnya di jalan kosong.
Maggie memandang sekelilingnya, heran. "Mengapa kita berhenti di sini?"
Justin pura-pura melihat ke luar. "Sepertinya kita tersesat, "katanya sambil tersenyum. Bahkan dalam gelapnya malam, mata birunya tetap memesona.
Maggie membalas senyumnya. "Aku tak kuatir."
Justin mencondongkan badannya, pelan-pelan mendekatkan wajahnya ke wajah Maggie.
Mata Maggie lekat-lekat menatap matanya. Dia merasa jantungnya berdegup penuh gairah.
Tetapi dia segera sadar bahwa berciuman di mobil yang kecil itu sungguh tidak nyaman. Tempat duduknya rendah, sehingga mereka sulit berpelukan.
Mereka juga terikat pada sabuk pengaman masing-masing.
Maggie berusaha membuka sabuk pengaman. Sebuah pikiran mengerikan membuat badannya dingin.
Seperti ini perasaan gadis itu ketika dia terjebak di dalam selimut yang membelitnya. Miranda. Gadis yang terbunuh di ranjang Maggie itu.
Dia terbelit, terbelit dalam selimut. Kemudian dia mati ditikam.
Sambil mendesah Maggie membuka sabuk pengamannya dan membiarkan sabuk itu terkulai jatuh dari bahunya.
Mengapa aku tak bisa berhenti memikirkan Miranda?
Justin mengulurkan tangan meraihnya. "Tunggu," kata Maggie sambil menjauhkan wajahnya.
"Hah? Apa-apaan sih?"
Maggie tidak mau berterus terang. "Nggak, nggak," katanya. "Di sini... di sini sempit sekali."
Justin mendengus kesal. Dia duduk menyandar di kursinya dan menatap lurus ke depan dengan marah. Akhirnya dia berpaling kepada Maggie. "Ada pohon besar yang rindang di sana," katanya. "Kita bisa duduk-duduk di bawahnya."
Maggie ragu-ragu. "Maaf, sungguh, aku minta maaf. Pikiranku... pikiranku sedang kacau."
Justin mendengus lagi. "Mags, ada apa sih?" akhirnya dia bertanya. "Tiba-tiba saja kau..."
"Mimpi itu lagi," Maggie mengaku.
"Mimpi?" Wajah Justin berkerut tidak mengerti. "Mimpi apa?"
"Ingat aku pernah cerita tentang mimpi burukku? Ada cewek berambut pirang, aku tak bisa melihat wajahnya..."
Justin tetap tidak mengerti.
"Aku mencoba mengenyahkannya dari pikiranku," Maggie cepat-cepat melanjutkan. "Tapi aku bermimpi lagi. Kali ini cewek itu ditikam, di ranjangku."
"Dalam mimpimu," Justin mengoreksi.
"Benar," kata Maggie. "Aku juga berpikir begitu. Itu hanya mimpi. Tapi, tebak apa yang kudengar dari tetanggaku. Keluarga terakhir yang tinggal di rumahku—putri mereka mati dibunuh. Di ranjang. Di ranjangku."
"Aneh," gumam Justin. "Siapa dia?"
"Namanya Miranda Helfer. Kau kenal dia? Kau pernah dengar tentang pembunuhan itu?"
"Miranda Helfer?" Dia mengingat-ingat. "Tidak. Belum pernah dengar."
Wajah Justin menjadi cerah. "Hmm, itu menjelaskan mengapa kau mendapat mimpi buruk."
"Tidak. Kau belum ngerti juga, ya?" kata Maggie tidak sabar. "Aku sudah mimpi buruk sebelum aku tahu tentang cewek yang terbunuh itu."
"Hah?" seru Justin kaget.
"Agen real estate itu tak cerita pada kami," lanjut Maggie. "Dan aku mulai mimpi tentang pembunuhan itu pada malam pertama aku tidur di ranjang berkanopi itu. Justin, saat itu aku belum tahu apa-apa. Sama sekali tak tahu. Jadi, ini pasti sesuatu yang... supranatural."
Justin menyipitkan mata. "Apa maksudmu?"
"Yah, sepertinya ranjang itu ingat akan pembunuhan itu dan mencoba memberitahuku, memperingatkanku tentang... sesuatu!"
Justin mengacak-acak rambutnya yang hitam ikal. "Mags," katanya sambil memutar-mutar bola matanya dengan kesal. "Ranjang itu ingat? Ranjang itu? Tak masuk akal, Maggie. Tak masuk akal, Maggie...."
"Aku, tahu, aku tahu. Kedengarannya memang tolol. Tapi, apa kau bisa memberi penjelasan yang lebih baik?" tuntut Maggie sungguh-sungguh. "Mengapa aku mendapat mimpi buruk itu?"
"Maggie," kata Justin, semakin jengkel. "Mimpi selalu campur aduk dan gila."
"Hmm, menurutku, yang ini pasti ada artinya," tukas Maggie sengit. "Kupikir Miranda mencoba menyampaikan sesuatu padaku. Kurasa dia mencoba memperingatkanku tentang sesuatu."
Justin ternganga memandangnya. Kemudian dia tertawa geli. "Dari kubur?"
******************
Maggie mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Dari kubur."
Maggie merapatkan jari-jarinya membentuk sudut sempurna, tangannya terayun mengiris air. Dia berenang dengan indah. Dia bisa merasakannya.
Dia tidak heran ketika menarik kepalanya keluar dari dalam air di akhir lomba dan mendapati dirinya yang pertama mencapai finish-terpaut setengah lap dari lawannya.
Di belakangnya, air bergolak. Kedua perenang lainnya, Andrea. dan Tiffany, bersaing ketat, mengejar selisih waktu sekian detik.
Sambil bergantung di pinggir kolam, Maggie mulai berteriak-teriak, "Ayo, Andrea! Cepat!"
Mengenakan topi renang dan kacamata renang warna gelap, Andrea mirip makhluk air aneh yang meluncur cepat. Maggie nyaris tidak mengenalinya. "Kau pasti bisa, Andrea!" teriaknya.
Tetapi Tiffany lebih cepat, tangannya me-nyentuh tepi kolam lebih dulu.
"Oke, lomba yang bagus," Coach Randall berseru beberapa detik kemudian. "Kalian bertiga ke sini."
Mereka berdiri setengah lingkaran di depan bangku tim, tempat Coach Randall duduk sambil mempelajari catatan di clipboard-nya. Meskipun di situ cukup hangat, ketiga gadis itu berdiri sambil menyilangkan tangan di dada, seakan melindungi diri. Air menetes-netes dari baju renang mereka.
Maggie selalu mengamati itu sehabis berenang. Rasa gamang dan tak terlindung begitu keluar dari dalam air.
Ketika memandang deretan bangku yang lebih tinggi, Maggie melihat Dawn duduk di deretan paling atas. Gadis itu mengenakan pakaian jalan-jalan, kakinya ditumpangkan di bangku di bawahnya. Bahkan pada jarak sejauh itu, Maggie bisa melihat Dawn tidak tersenyum.
Hmm, memangnya apa yang kuharapkan? Maggie bertanya pada diri sendiri. Kalau tanganku patah dan kehilangan kesempatan untuk bertanding di Kejuaraan Negara Bagian, aku pasti juga akan begitu.
Coach Randall menulis sesuatu pada clipboard-nya. " Oke," ia mengumumkan. "Maggie, Tiffany, kalian akan bertanding di Kejuaraan Negara Bagian untuk dua ratus meter Gaya Ganti."
Tiffany menjauh sambil menari-nari, tangannya terangkat mengungkapkan kegembiraannya. "Aku berhasil!" teriaknya kepada Dawn.
Dawn berteriak riang. "Hebat kau, Tiffany!" Dia tidak memberi selamat kepada Maggie, tentu saja—dan itu tidak mengherankan.
Maggie memberi selamat kepada Tiffany. Tetapi senyumnya langsung lenyap ketika dia melihat ekspresi Andrea.
Dagu Andrea terangkat, bibirnya mengerut, wajahnya menampilkan ekspresi yang sangat dikenal Maggie. Adiknya itu sedang marah besar.
"Andrea," pelatih mereka melanjutkan, "moga-moga ini menghiburmu. Kau berenang lebih baik dari biasanya."
"Hebat," gumam Andrea.
"Kuharap kau terus berlatih keras, Andrea," Coach Randall memerintahkan. "Dua ratus meter Gaya Ganti merupakan nomor paling penting. Kau cadangan pertama."
"Tentu saja," geram Andrea sambil memutar-mutar bola matanya. "Tak ada calon lain, ya?"
Coach Randall menatapnya lekat-lekat. "Ada satu tim cadangan. Ada sebelas gadis dalam tim itu. Kalau kau tak berminat berenang di dua ratus meter Gaya Ganti, katakan sekarang saja."
Andrea mengangkat bahu.
"Menjadi cadangan itu amat penting," Coach Randall melanjutkan. "Dan jangan lupa, kau lebih muda setahun dari Maggie dan Tiffany. Kau masih punya kesempatan tahun depan."
Maggie memandang Andrea penuh simpati.
"Kau boleh menghentikan sikap sok mengasihani itu!" bentak Andrea. Dia membalikkan badan lalu berjalan cepat ke kamar bilas.
Coach Randall berpaling kepada Maggie. "Jangan kuatir," katanya. "Dia pasti bisa mengatasinya.
Entah mengapa, pikir Maggie, aku meragukan kata-katanya.
Itu bukan pertama kalinya dia berharap Andrea tidak membencinya seperti itu.
*****************
Maggie tidak bisa merasa nyaman. Selimut dan seprai seakan membakar kulitnya.
Biasanya dia suka tidur miring ke kanan. Tetapi malam itu, dia bisa mendengar—dan merasakan—detak jantungnya. Akibatnya ia merasa sangat tidak nyaman. Seakan jantungnya sewaktu-waktu akan berhenti.
Bergerak-gerak dan berguling-guling.
Dia gelisah dan berguling-guling.
Persis gadis dalam mimpinya itu.
Oh, tidak, tidak.
Aku berguling-guling seperti Miranda. Sekarang dia merasa dirinya jatuh, jatuh ke dalam mimpi.
Tak ada jalan untuk kembali.
Dia jatuh menembus kabut merah jambu. Dari ketinggian di atas, dia memandang ke bawah ke kanopi merah jambu yang menggelembung di atas ranjangnya.
Aku bermimpi, katanya kepada diri sendiri. Ini hanya mimpi.
Mengapa pikiran bahwa ini hanya mimpi tidak membuatku tenang?
Menembus kanopi merah jambu. Menembus kelambu merah jambu di atas. Jatuh ke ranjang.
Dan dia melihat gadis itu. Dia melihat Miranda. Rambutnya yang pirang kelabu lepek dan basah, menempel di bantal.
Wajah gadis itu tak bisa dilihatnya, seperti biasa.
Kemudian bayang-bayang gelap meliputi ranjangnya.
Maggie bergidik. Tepat saat itu dia melihat kilat bilah pisau yang tajam dalam cahaya remang-remang.
"Jangan!" jerit Maggie.
Jeritnya pasti keras sekali hingga membuatnya terbangun.
Dia menemukan dirinya terjaga nyalang, duduk di ranjangnya.
Matanya nanar memandang sekeliling kamar tidurnya yang gelap.
Aku tak ingin terjaga sekarang! katanya pada diri sendiri.
Aku ingin menyelesaikan mimpiku. Aku ingin melihat lebih banyak.
Aku harus melihat lebih banyak!
Dia meletakkan kepalanya di bantal lagi, bertekad hendak tidur dan menyelesaikan mimpinya.
Namun berbaring dalam gelap, memandang kanopi yang dipermainkan angin semilir dari jendela yang terbuka, Maggie tiba-tiba sadar bahwa dia tidak sendirian di kamarnya.
Ini bukan mimpi, dia tahu.
Ini nyata. Bukan mimpi. Dan ada seseorang di kamarnya.
Sosok itu berdiri di sudut gelap kamarnya, persis di tempat si penyerang bersembunyi dalam mimpinya itu.
Dengan gemetar penuh kengerian, Maggie memaksa dirinya duduk—dan melihat sosok itu.
Andrea!
"Andrea? Andrea? Kau?"
Andrea berjalan cepat menyeberangi kamar menuju ke ranjang Maggie.
Ketika Andrea bergerak mendekatinya, Maggie melihat sesuatu berkilat di tangan adiknya. Dia melihat kilat bilah pisau yang memantulkan cahaya.
Chapter 13
"ANDREA—kau mau apa? Ngapain kau di kamarku?" desis Maggie.
"Aku tak bisa tidur," jawab Andrea lirih. "Aku sedang mencoba rambut model baru. Aku ke sini mau pinjam alat pengeriting rambut."
Dia mengangkat alat itu. Benda itu memantulkan cahaya. Sekarang Maggie sadar, itu memang alat pengeriting rambut.
"Maaf, membuatmu terbangun," bisik Andrea. Dia berjingkat-jingkat keluar. "Kau mau pintunya kubiarkan terbuka?"
Maggie sesak napas dan sulit menjawab. "Akan kututup sedikit," kata Andrea.
Setelah Andrea keluar, Maggie tetap duduk tak bergerak, matanya nanar memandang pintu, menunggu napasnya teratur kembali.
Andrea menyeberangi kamar dalam gelap. Kilat bilah pisau itu. Itu dari mimpiku, pikirnya. Tapi bagaimana mungkin?
Apa aku sudah gila?
Dia tak perlu berpikir lama tentang itu. Tiba-tiba pintu kamar tidurnya terbuka.
Dia mendengar bunyi langkah-langkah halus. Tetapi dia tidak melihat apa-apa!
Tanpa pemberitahuan, kepala Gus nongol di samping ranjangnya. Matanya yang hitam dan sedih menatapnya dalam kegelapan. Maggie lega sekali melihat anjingnya, dia segera memeluk anjing itu dan mencium hidungnya.
Gus menjilati telinganya. Kemudian dia berbalik ke pintu. Maggie mendengar anjing itu menuruni tangga depan.
"Kalian harus banyak istirahat." Maggie tiba-tiba ingat pesan pelatihnya. Dia memejamkan mata.
Aku harus tidur. Aku harus tidur...
Dia berbaring diam. Rasanya seperti takkan ada akhirnya—padahal mungkin baru lima menit. Dia membuka mata. Ini tak ada gunanya. Belum pernah dia benar-benar terjaga seperti sekarang.
Oke, Dad, katanya pada diri sendiri. Sudah waktunya melaksanakan nasihat Dad. Ayahnya selalu menasihati, jika tidak bisa tidur, segeralah turun dari ranjang dan membaca sampai mengantuk.
Maggie mengayunkan kakinya turun dari tempat tidur. Lantai dingin dan membuatnya merasa segar. Dia pergi ke rak bukunya dan memilih bacaan yang membosankan untuk dibaca. Moby Dick. Ini pasti berhasil. Dad selalu mengatakan itu buku paling membosankan yang pernah ditulis.
Dia ingat nasihat lain ayahnya tentang insomnia. Kata ayahnya, sebaiknya keluar dari kamar tidur sampai kita mengantuk.
Mr. Travers sangat ahli dalam urusan insomnia karena memang menderita karenanya. Sering sekali malam-malam, ketika turun ke lantai bawah, Maggie menemukan ayahnya duduk di dapur sedang menikmati minuman kesukaannya—satu cangkir besar cokelat panas—sambil membaca.
Moby Dick ini berat sekali. Sambil mengepit buku tebal bersampul keras itu, dia keluar ke lorong. Dari celah di bawah pintu Andrea, dia bisa melihat lampu di kamar tidur adiknya belum dimatikan. Maggie tidak mendekati pintu itu, tetapi berbelok ke lorong, lalu menuruni tangga depan.
Gus tidur di samping kursi tempat menjulurkan kaki di ruang tamu, mendengkur keras sekali. Gus sama sekali tidak pernah menderita insomnia.
Dapur kosong dan lengang seperti kuburan. Dia membuka kulkas, membiarkan udara dingin keluar dan menyapu kakinya yang telanjang.
Entah dari mana, terdengar lantai kayu berderak.
Dia menyimak, badannya tiba-tiba menegang. Biasanya, jika terdengar bunyi-bunyi aneh di rumah, dia selalu mengatakan kepada diri sendiri bahwa itu pasti ulah Gus. Tetapi Gus ada di ruang tamu, sedang tidur.
Ah, rumah tua begini pasti menyimpan banyak hal aneh, ia menenangkan diri.
Di luar, angin berembus hingga daun jendela berderak-derak.
Di kulkas dia tidak menemukan apa yang dicarinya, tapi pintu kulkas tetap dibiarkannya terbuka, agar lampu dari dalamnya memberi sedikit penerangan.
Dia berdiri diam dan menyimak beberapa saat lagi. Semua hening sekarang. Ditutupnya kulkas.
Dia menyalakan lampu lalu duduk di depan meja dapur. Novel itu bahkan tidak dibukanya. Tak mungkin dia bisa berkonsentrasi membaca cerita tentang perburuan ikan paus.
Bisakah aku melanjutkan mimpiku? dia menimbang-nimbang.
Bisakah aku memejamkan mata dan kembali ke dalam mimpiku? Bisakah aku melihat wajah gadis itu dan penyerangnya?
Bisakah aku mengakhiri mimpiku dan tak pernah mendapat mimpi buruk lagi?
Dia heran dengan dirinya sendiri yang sangat ingin mengetahui akhir mimpi itu.
Apakah aku sudah cukup letih dan sekarang bisa tidur lagi? Dipejamkannya matanya. Dia bisa merasakan keletihan merambati sekujur tubuhnya, di bawah batas kesadarannya.
Dia mematikan lampu dapur lalu menaiki tangga depan. Baru dua minggu tinggal di rumah ini, namun dia sudah bisa menjelajahinya dalam gelap tanpa tersesat. Dia sudah semakin terbiasa dengan seluk-beluk rumah itu.
Mungkin suatu saat nanti dia akan benar-benar betah tinggal di sini.
Begitu masuk ke kamar tidurnya, langkahnya langsung terhenti. Penutup ranjangnya telah dirapikan.
Aneh. Maggie yakin, tadi dia membiarkan penutup ranjangnya teronggok di kaki ranjang.
Cepat-cepat dia mendekati ranjang dan meraih penutupnya.
Ditariknya penutup ranjang itu ke bawah... Dia menjerit keras begitu melihat pisau itu, bilahnya yang panjang tertanam di bantalnya.
Chapter 14
DENGAN gemetar, Maggie mengangkat tangan menutupi wajahnya dan mundur menjauhi ranjang itu.
Ketika sampai di ambang pintu yang terbuka, dia berbalik lalu lari.
Dia merasa mual. Perutnya seperti diaduk-aduk. Pelipisnya berdenyut-denyut.
Andrea! Ini pasti ulah Andrea.
Maggie ingat berkas sinar dari bawah pintu kamar tidur adiknya. Andrea belum tidur.
Apakah mimpinya memberinya peringatan terhadap Andrea? Maggie bertanya pada diri sendiri, mencoba menekan kengeriannya, rasa marahnya.
Apakah Andrea sedemikian membenciku?
Di ujung lorong, dalam gelap, pintu kamar ibunya membuka. Mrs. Travers berlari keluar dengan baju tidurnya. Maggie langsung melompat menghampiri ibunya.
"Mom... Mom!" Dia mencengkeram lengan ibunya dan menariknya kembali ke kamarnya.
Mata Mrs. Travers terbelalak penuh kecemasan. "Apa? Ada apa, Maggie? Ada apa?"
"Andrea..." Suara Maggie tercekik.
"Apa? Kenapa Andrea?"
"Pi... pisau itu."
"Pisau apa? Apa, Maggie? Andrea tak apa-apa, kan?"
"Aku! Aku!" jerit Maggie panik.
Sambil mencengkeram kedua lengan ibunya, ia menarik ibunya kembali ke lorong. "Andrea menikamkan pisau ke ranjangku!" jeritnya parau.
"Kau bicara apa sih?"
Maggie mendorong ibunya ke kamar tidurnya. "Lihat!" jeritnya sambil menunjuk ranjangnya.
Mrs. Travers menyalakan lampu.
Mereka berdua memandang ranjang Maggie. Penutupnya teronggok di kaki ranjang, persis seperti ketika ditinggalkannya.
Tetapi sarung bantalnya mulus dan tidak robek.
Dan pisau itu sudah lenyap.
Chapter 15
"AKU tidak gila!" jerit Maggie.
Mrs. Travers mundur, tangannya menarik-narik rambutnya dengan tegang, matanya memandang Maggie lekat-lekat, mengawasinya.
"Aku tidak gila, Mom!" Maggie terus berkata dengan suara meninggi.
Sambil menjerit marah, dia mendorong ibunya lalu keluar dari kamarnya.
Kemudian menyusuri lorong.
"Jangan sampai Andrea terbangun!" seru Mrs. Travers dari belakangnya.
Tetapi Maggie mendorong pintu kamar adiknya dan menyalakan lampu.
Andrea tengkurap di ranjangnya, penutup ranjangnya menutupi bahunya.
"Jangan pura-pura!" jerit Maggie. "Kau tidak tidur! Aku tahu kau tidak tidur!"
Andrea menguap, pelan-pelan memutar badannya sambil menudungi matanya. "Apa...?"
Mrs. Travers cepat-cepat masuk ke kamar itu. "Maggie, biarkan adikmu. Mom serius."
"Membiarkan dia?" Maggie tertawa histeris. "Membiarkan dia? Dia menikamkan pisau ke ranjangku, Mom! Dia... dia... dia ingin membuatku gila!"
Sekujur tubuh Maggie bergetar karena marah tak terkendali. Dia melompat maju, mencengkeram pundak Andrea, lalu mengguncang-guncangnya dengan keras.
"Mana pisaunya, Andrea? Mana? Kausembunyikan di mana? Di bawah sini?" Dilepaskannya Andrea dan ditariknya bantal adiknya dari ranjang.
"Lepaskan!" kata Andrea sambil mengantuk. "Kau ini apa-apaan sih?"
Mrs. Travers mencengkeram pundak Maggie dan mencoba menariknya menjauhi ranjang Andrea.
Tapi Maggie memutar badannya. "Lampu kamarnya menyala sampai dua detik yang lalu!" teriaknya. "Lampu kamarnya menyala. Dia tidak tidur, Mom! Dia pura-pura! Dia menikamkan pisau ke bantalku! Sumpah aku tak bohong!"
"Pisau apaan?" Andrea menuntut jawab sambil menarik bantalnya dari cengkeraman Maggie. "Dari mana aku dapat pisau?" Dia berpaling kepada ibunya. "Maggie ngomong apaan sih?"
"Mom juga tak tahu," Mrs. Travers menjawab dengan suara letih. "Dengar kata Mom, Maggie," katanya lembut. "Kita bicarakan ini besok pagi, oke? Kalau kau sudah lebih tenang."
"Aku takkan pernah tenang!" Maggie berkeras. Namun dibiarkannya ibunya membimbingnya keluar dari kamar.
"Kau gila, Maggie," dia mendengar Andrea menggumam dari ranjangnya. "Kau benar-benar gila."
**********
Peluit melengking. Coach Randall melihat arlojinya. "Nah, anak-anak, dengarkan baik-baik."
Hari itu Selasa sore, setelah latihan yang lama dan melelahkan. Maggie bergantung di tepi kolam, di samping rekan-rekan satu timnya, menyimak kata-kata pelatih mereka. Dia mendongak memandang Dawn, yang menonton dari deretan bangku paling atas seperti biasa.
Coach Randall mondar-mandir di tepi kolam. "Kalian sudah tahu," lanjutnya, "Jumat ini Kejuaraan Renang Negara Bagian berlangsung. Bagi kalian yang akan bertanding, hanya ada sedikit waktu untuk menjaga agar kondisi tetap prima. Bagaimana kalian? Lima lap lagi?"
Terdengar erangan-erangan dari kolam renang. Wajah Coach Randall berkerut, pura-pura kaget. "Oh, kalian kecewa karena hanya disuruh berenang lima lap lagi? Kalian benar. Kalau begitu, sepuluh lap."
Lebih banyak erangan lagi. Tetapi Coach Randall bertepuk tangan. "Jangan bercanda saja. Semua siap di papan start. Lima lap, gaya bebas. Maggie... Tiffany... buktikan kalian memang pantas bertanding di dua ratus meter Gaya Ganti mewakili kita."
Maggie memilih jalur di antara Andrea dan Tiffany.
"Kau akan kalah," desis Andrea sambil mengenakan kacamata renangnya.
"Terima kasih atas dorongan semangatnya," kata Maggie sambil tersenyum pahit. Dia membungkuk, mengambil posisi siaga. Tanpa sengaja Andrea justru memacu semangatnya. Komentarnya mengingatkan Maggie bahwa dia tidak sudi dikalahkan.
Peluit melengking, Maggie meloncat sejauh-jauhnya, langsung terjun ke dalam air biru yang dingin.
Kayuhan pertamanya sangat kuat, tetapi tiba-tiba saja energinya seperti terkuras habis. Tubuhnya ingat betapa letihnya dia, bahkan
ketika pikirannya sudah tidak ingat lagi. Setiap kali memalingkan wajah untuk mengambil napas, dia melihat Tiffany menjajarinya, satu kayuhan disusul kayuhan berikutnya.
Maggie mengayuh lebih keras, lebih cepat. Namun ketika memalingkan kepala untuk mengambil napas lagi, dia melihat Tiffany sudah sampai di tengah lintasan. Maggie tertinggal!
Satu lap, hanya itu. Tapi rasanya seperti berenang satu mil. Tangannya menyentuh pelampung yang membatasi jalur lintasan. Lengannya langsung sakit seperti tersengat.
Dia sadar, dia melenceng terlalu dekat dengan Andrea. Dia mencoba meluruskan arah, tapi dengan begitu dia kehilangan waktu.
Minggu ini dia sudah satu kali kalah dari Tiffany. Itu sudah cukup menyakitkan. Tapi kalah dari Andrea? Seumur hidup dia belum pernah dikalahkan adiknya.
Sambil mengerang lirih, Maggie menambah kecepatan, memaksa otot-ototnya yang letih bekerja lebih keras.
Tiffany yang pertama mencapai finish. Andrea dan Maggie bersaing ketat.
Maggie bisa mendengar Andrea mendengus marah dan frustrasi.
Maggie menggeram keras-keras dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh dinding. Ujung jarinya menyentuh dinding.
Kemudian Andrea menyusul.
Maggie terengah-engah, napasnya terdengar keras. Mulutnya megap-megap.
Dia mengibas-ngibaskan kepala, menyingkirkan air dari telinganya, menyimak ketika Coach Randall mengumumkan tiga pemenang pertama. Tiffany. Maggie. Andrea.
Tanpa memalingkan kepala, Maggie bisa m-rasakan Andrea menabrak dinding. Kemudian Coach Randall meniup peluitnya lagi dan memerintahkan semuanya untuk segera pergi ke kamar bilas.
Maggie butuh waktu beberapa menit sebelum merasa cukup kuat untuk menarik dirinya keluar dari kolam renang. Dia yang terakhir keluar.
"Kau lemas sekali," kata Coach Randall, dahinya berkerut.
"Masa?" tanya Maggie.
"Pastikan kau cukup istirahat, dari sekarang sampai Jumat," kata pelatih itu sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Pasti. Harus banyak istirahat. Mudah diucapkan. Maggie tahu, Coach Randall pasti tidak pernah mimpi buruk tentang gadis yang mati ditikam, atau menemukan sebilah pisau ditikamkan di bantalnya.
Dia berjalan ke kamar ganti, lalu dengan lemas menjatuhkan diri ke bangku di depan lokernya. Sebagian besar anggota tim sudah masuk ke kamar bilas, percakapan dan tawa mereka terdengar sampai ke tempat ganti pakaian.
Sebuah pintu loker dibanting. Maggie tahu, itu Andrea. Andrea tak pernah pandai menyembunyikan perasaannya.
"Aku mengalahkanmu lagi," teriak Tiffany kepada Maggie. "Dua kali berturut-turut. Prestasimu merosot, Travers." Tiffany berdiri beberapa loker dari Maggie, sedang mengancingkan blusnya.
Maggie mengangguk. "Yah. Hmm..." Dia berpaling kepada Andrea. "Pertandingan yang bagus."
Andrea sedang membungkuk, berusaha membuka simpul tali sepatu ketsnya. Dia menekan sepatu kets itu keras-keras dengan frustrasi. "Tolong! Jangan ganggu aku," gumamnya.
Setelah berpakaian lengkap, Tiffany datang mendekat lalu duduk di samping Maggie. Sikapnya terlalu ramah, pikir Maggie. Dia belum pernah melihat Tiffany segembira itu.
"Menurutmu, bagaimana kesempatan kita Jumat nanti?" tanya Tiffany.
"Kita akan hajar mereka," Maggie berjanji.
"Kita pasti hebat, ya?" kata Tiffany. "Menjadi juara se-Negara Bagian?"
"Hebat," ulang Maggie tanpa semangat. Dia melihat cemooh di wajah Andrea.
"Sampai ketemu," kata Tiffany sambil berdiri. "Tinggal tiga hari lagi." Dia menyandangkan tas kanvasnya ke punggung lalu berjalan ke pintu keluar kolam renang.
"Maggie?" Coach Randall memanggil dari ambang pintu kantornya. "Bisa bicara sebentar?"
"Uh-oh," desis Andrea. "Maggie dapat masalah."
"Jangan kayak anak kecil," kata Maggie tajam. Dia membungkus tubuhnya dengan handuk lebar, menyematkan ujungnya kuat-kuat untuk menutupi dadanya.
Coach Randall sedang duduk di balik mejanya ketika Maggie masuk. Pelatih itu tersenyum hangat. "Bagaimana perasaanmu?"
"Letih dan bersemangat, campur aduk," jawab Maggie.
Coach Randall mengangguk. "Gaya punggungmu hari ini lebih baik. Gerakan melencengmu jauh berkurang."
"Ya, rasanya memang lebih baik," kata Maggie. Apa yang ingin dikatakannya? Maggie menebak-nebak. Sejak kapan pelatihnya suka mengobrol?
"Bagaimana hal-hal lainnya?" pelatih itu bertanya sambil lalu.
"Hal-hal lain?"
"Ya," balas Coach Randall. "Kehidupanmu, rumahmu, cowokmu, yang seperti itulah."
Wah, pikir Maggie. Apa maunya Coach Randall? Mengapa dia menanyaiku tentang ini semua?
Apa yang diharapkan darinya? Mengungkapkan isi hatinya? Ayahku meninggal, pacarku mengabaikanku sejak aku menceritakan mimpi buruk yang aneh itu, aku menemukan pisau ditikamkan ke bantalku, dan aku merasa di ranjangku ada hantunya.
Tidak, kedengarannya pasti mengada-ada. "Semua baik-baik saja," kata Maggie.
Coach Randall menatapnya berlama-lama, mengamati mata Maggie. "Akhir-akhir ini aku menguatirkanmu, Maggie. Kau agak berubah, tak seperti biasanya."
"Saya baik-baik saja," kata Maggie berkeras. "Sungguh."
"Kuharap kau dan Andrea sudah berbaikan," kata pelatih itu sambil mencondongkan badannya di atas mejanya yang penuh kertas berserakan.
"Ya. Tak ada masalah," Maggie berbohong.
Mereka bicara beberapa lama lagi. Akhirnya Coach Randall mengulangi instruksinya agar Maggie banyak beristirahat, lalu mengizinkannya pergi.
Ketika meninggalkan kantor itu, Maggie melewati pintu yang terbentang lebar ke arah kolam renang dan memandang ke sana.
Apa itu?
"Oh!" Dia memekik tertahan, tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Dia bergegas melewati pintu.
Kemudian langkahnya terhenti.
Dia menjerit ngeri saat melihat Tiffany tertelungkup, darah merah menggenang di sekitarnya, membasahi lantai.
Chapter 16
TIFFANY!" jerit Maggie.
Tiffany tak bergerak.
Maggie membungkuk di atasnya.
Dan melihat pisau berdarah.
Kemudian luka tikaman di pinggang Tiffany. "Oh oh oh..." gumam Maggie ngeri. Tangannya terulur, mengambil pisau itu....
Tepat saat itu Coach Randall datang berlari dari arah ruang ganti, dua guru lainnya masuk dari pintu depan.
Maggie mendongak, tubuhnya membeku karena ngeri yang amat sangat. Tangannya bersimbah darah hangat yang lengket. Pisau itu terlepas... jatuh.
Guru-guru itu, dengan wajah pucat pasi, berlari ke arahnya.
Maggie melompat berdiri. "Bukan aku yang melakukannya!" jeritnya. "Sungguh! Bukan aku!"
*************
Maggie berbaring di sofa di ruang tamu, memandang langit-langit.
"Tak seorang pun mencurigaimu, Sayang," kata Mrs. Travers. Dia duduk di dekat kaki Maggie. "Tak ada alasan mereka mencurigaimu. Kau tak punya alasan untuk menikam Tiffany. Kau takkan mampu melakukannya, bahkan seandainya kau punya alasan!"
"Polisi—mereka menanyaiku macam-macam," keluh Maggie.
"Mereka cuma melakukan tugas," jawab ibunya. "Tapi mereka tak pernah berpikir kau yang menikam Tiffany."
"Aku lega karena dia akan segera sembuh," kata Maggie.
"Ibunya bilang dia masih sakit, tapi kondisinya akan membaik," kata Mrs. Travers. Dia menggigit bibir bawahnya. "Sayang, Tiffany tak melihat penyerangnya. Kepada dokter-dokter dia bilang ada orang yang menyerangnya dari belakang."
Maggie merasa ada sesuatu yang basah dan hangat mengenai tangannya. Dia melirik ke bawah dan melihat Gus menjilati tangannya yang terkulai di pinggir sofa. Anjing itu menepuk-nepuk lengannya dengan satu kaki depannya.
"Anjing baik," kata Maggie sambil mengusap-usap kepala Gus. "Anjing baik dan manis." Itu salah satu kehebatan anjing. Anjing selalu mencintai majikannya, tak peduli apa pun yang terjadi.
Andrea sedang di dapur, bicara dengan Tiffany di telepon. Maggie bisa mendengar sebagian kata-kata Andrea. "Sungguh, kau harus istirahat.... Masih banyak pertandingan lain... Syukurlah kau tak apa-apa... Bisa saja lebih parah dari itu."
Hmm, pikir Maggie, syukurlah Tiffany selamat. Namun tak mungkin Tiffany bertanding hari Jumat nanti.
Mula-mula Dawn, lalu Tiffany.
Sekarang hanya tinggal dua perenang. Maggie dan...
Maggie duduk tegak ketika Andrea masuk ruangan itu. Wajah Andrea tersenyum senang. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya.
Andrea pasti masuk tim renang sekarang, Maggie menyadari itu. Dia akan berenang di dua ratus meter Gaya Ganti, menggantikan Tiffany.
"Tiffany akan sembuh," Andrea meyakinkan Maggie dan ibunya. Sepertinya itu yang membuatnya senang! pikir Maggie pahit.
"Itu sangat melegakan, Andrea," kata Mrs. Travers. "Kau dengar sendiri, Maggie? Semua akan beres." Dia berdiri. "Sebaiknya
Mom siapkan makan malam. Bagaimana kalau hot dog dan buncis panggang?"
Mom pasti cemas sekali memikirkanku, pikir Maggie. Terakhir kali Mom memperbolehkan kami makan hot dog adalah seminggu setelah Dad dimakamkan.
Waktu itu Maggie dan Andrea yang memasak. Mereka membuat hot dog setiap malam sampai tak ada lagi sosis yang tersisa di freezer.
"Kau tahu apa artinya ini, Mags?" tanya Andrea. "Artinya, aku ikut Kejuaraan Negara Bagian."
Maggie mengangguk, tetapi tidak sungguh-sungguh memperhatikan. Pikirannya melayang-layang, memikirkan sesuatu yang membuatnya sangat cemas.
Tiffany ditikam. Gadis dalam mimpinya itu juga ditikam.
Adakah hubungannya?
Pikiran gila, Maggie mengingatkan dirinya sendiri. Pikiran gila.
Namun dia tidak dapat mengenyahkan pikiran itu.
Andrea mondar-mandir di depannya, tangannya tenggelam dalam saku celana jinsnya. "Aku tak percaya pada keberuntunganku ini. Menurutmu, berapa yang akan ikut bertanding Jumat nanti? Aku gugup sekali. Bisa-bisa aku pingsan atau terkencing-kencing nanti. Apa pernah ada yang terkencing-kencing di kolam ketika sedang bertanding?"
"Tiffany ditikam," gumam Maggie, seperti tidak mendengar kata-kata adiknya. "Apakah mimpi itu mencoba memperingatkanku?"
"Oh, jangan bicara tentang mimpimu lagi!" Andrea memohon. "Kaubuat dirimu jadi gila, Maggie."
Dia mondar-mandir lagi. "Aku lebih baik dari Tiffany. Jadi, menurutku, apa yang terjadi ada untungnya juga."
"Ada untungnya?" Kata-kata Andrea membuyarkan pikiran Maggie yang sedang kacau. Mulutnya ternganga. "Ada untungnya Tiffany ditikam?"
"Aku tahu. Kedengarannya memang mengerikan," Andrea menjawab tanpa emosi. "Tapi aku harus bagaimana? Pura-pura tertekan karena terpaksa ikut bertanding?"
Maggie melompat duduk. Dia marah sekali kepada Andrea hingga tak sanggup bicara apa pun. "Jaga mulutmu, orang bisa saja mengira kau yang menikam Tiffany!" akhirnya kata-kata itu terlontar dari mulut Maggie.
Andrea tertawa kesal. "Gagasan hebat!" serunya. "Gagasan hebat!"
*************
"Tolong... tolong aku!"
Maggie bergerak gelisah di ranjangnya, tenggelam dalam mimpi buruk.
Tapi mimpinya sudah berubah.
Gadis berambut pirang kelabu itu tidak lagi tidur di ranjang.
Sekarang gadis itu lari, lari kencang untuk menyelamatkan diri.
Dan Maggie berlari bersamanya.
"Miranda!" panggil Maggie. "Miranda... tunggu aku!"
Dia mengikuti Miranda masuk ke lorong yang panjang dan gelap. Dinding lorong itu basah, licin berlendir. Atap lorong itu rendah sekali, Miranda dan Maggie terpaksa merunduk.
Miranda terpeleset-peleset dan berkali-kali jatuh karena batu-batu yang berserakan di lantai lorong. Setiap kali jatuh, dia segera bangkit dan berlari lagi.
Maggie mengikutinya. Dia tahu ini hanya mimpi. Tetapi rasanya nyata sekali. "Miranda! Miranda!" panggilnya.
Kalau saja gadis dalam mimpinya itu bisa mendengar suaranya!
Lorong gelap itu menyempit, makin sempit dan makin sempit, seolah dinding batu itu pelan-pelan merapat.
Miranda terus berlari. Lorong itu berkelok-kelok.
Maggie hanya dapat melihat punggung gadis itu, rambutnya berkibar-kibar ketika dia berlari.
"Biarkan aku melihat wajahmu! Miranda... tolong, izinkan aku melihat wajahmu!"
Tetapi dia tidak perlu melihat wajah Miranda untuk tahu gadis itu sangat ketakutan dan putus asa.
Tiba-tiba, Maggie menyadari penyebabnya.
Seseorang mengejar-ngejar Miranda di sepanjang lorong itu, mengejarnya dengan pisau teracung.
Semakin dekat. Semakin dekat.
Bilah pisau berkilat dalam cahaya lorong yang keabu-abuan.
Maggie menahan napas ketika Miranda terpeleset dan jatuh lagi.
Kali ini Maggie ikut jatuh. Jatuh menembus kabut merah jambu yang seakan tak ada habisnya.
Di bawahnya, samar-samar dia melihat kanopi merah jambu.
Jantung Maggie membeku. Dia jatuh ke arah kanopi itu.
Sekarang Miranda ada lagi di ranjang itu, kepalanya terpaling.
Jadi lorong itu awal mimpi buruknya! Maggie menyadari.
Selama ini, aku masuk ke mimpi itu di tengah-tengahnya!
Kemudian mimpi itu terulang persis seperti sebelumnya.
Namun kali ini, dengan pelan, sangat pelan, gadis itu berpaling.
Akhirnya Maggie bisa melihat wajahnya. Wajah manis. Wajah yang memancarkan kengerian.
Ketika terpana menatap wajah itu, Maggie melihat tangan si penyerang.
Sosok gelap itu merangsek maju hendak menikam Miranda.
Kemudian Maggie terbangun.
Dia terjaga. Kantuknya lenyap sama sekali.
Matanya terbuka. Jantungnya berdegup kencang.
Dia menghela napas panjang, kemudian sekali lagi.
Aku bangun. Aku selamat. Aku melihat wajahnya.
Sekarang aku benar-benar bangun.
Maggie tidak punya kesempatan menjerit sebelum tangan dingin itu membekap mulutnya.
Ini bukan mimpi! dia sadar. Ini terjadi sekarang... padaku!
Andrea?
Apakah ini Andrea lagi?
Bukan.
Ketika tangan dingin itu semakiri kuat menekan mulutnya, Maggie melotot memandang kegelapan.
Dan dia melihat Miranda.
Tidak! Tak mungkin!
Maggie mengangkat kedua tangannya untuk menyingkirkan tangan yang membekapnya.
Miranda menatapnya penuh amarah, rambut pirang pucat terjurai menutupi keningnya.
"Kau... hantu?" Maggie berhasil menggumamkan kata itu. Suaranya hanya bisikan lirih, seperti tercekik.
Miranda mengangguk.
"Kau... kau benar-benar hantu?"
Miranda mengangguk lagi dan mengangkat pisau itu.
Chapter 17
BILAH pisau itu berkilat dalam cahaya samar yang masuk lewat jendela.
Maggie mati-matian berusaha lepas dan menjatuhkan diri ke lantai. Dia membentur lantai yang keras. Sekujur tubuhnya nyeri.
"Miranda... jangan!" dia memohon.
Hantu itu memelototinya, sepasang mata warna gelap menyorot dari balik rambut yang terburai menutupi wajah.
Pisau itu berkilat-kilat.
"Miranda... jangan!"
"Maggie?" Suara Mrs. Travers yang cemas menggema di lorong. Maggie mendengar langkah ibunya mendekat dengan cepat.
Hantu itu melangkah mundur tanpa suara. "Maggie... kau tak apa-apa?" panggil Mrs. Travers.
Maggie memandang dengan penuh ketakutan ketika Miranda membuka jendela—lalu menghilang.
Maggie bangkit dari lantai. Tubuhnya gemetar karena kengerian yang luar biasa.
Pintu kamar tidurnya dibuka. Lampu dinyalakan. "Maggie..." Langkah Mrs. Travers terhenti, dia melihat kengerian di wajah Maggie.
"Mom... hantu itu!" pekik Maggie.
"Hah?"
"Hantu itu! Cewek dalam mimpiku itu... tadi dia di sini! Cepat... lihat!"
Dia mencengkeram lengan ibunya dan menariknya ke jendela. "Lihat, Mom! Cewek itu..."
Mrs. Travers mencondongkan badannya ke luar jendela yang terbuka. Angin mempermainkan baju tidurnya. Beberapa detik kemudian dia berbalik menghadap ke dalam.
"Tak ada siapa-siapa di luar, Maggie, " wajahnya bersungguh-sungguh.
"Mom... dia tadi di sini, di kamarku! Dia melayang keluar lewat jendela. Dia... dia membawa pisau dan..."
Mrs. Travers menjerit kecil, lalu melangkah maju dengan cepat, dan merengkuh Maggie ke dalam pelukannya. "Oh, Maggie, " dia menangis. Suaranya bergetar. "Jangan cemas. Mom akan mencari bantuan. Mom akan segera mencari pertolongan untukmu, Sayang. Kita cari dokter yang baik. Kau akan sembuh. Mom yakin kau pasti sembuh."
****************
"Tentang proyek kalian minggu depan, kalian harus membuat stalaktit dan stalagmit sendiri," kata Mrs. Harrison kepada mereka. Dia mengarahkan senternya ke langit-langit gua, tempat bentuk-bentuk runcing menggantung lurus ke bawah seperti bilah-bilah pisau yang runcing.
"Kelihatannya seperti es beku," kata Carly Pedersen, suaranya menggema di dalam gua.
"Tepat sekali," Mrs. Harrison sependapat. "Cara terbentuknya juga sama, tapi jauh lebih lambat. Kata 'stalaktit' berasal dari bahasa Yunani yang berarti 'menetes'."
Rabu sore. Di luar cuaca dingin, gelap, dan berawan—lebih mirip hari di musim dingin, bukan musim semi. Itu di luar. Di dalam gua, suhu sekurang-kurangnya sepuluh derajat lebih rendah.
Maggie melingkarkan lengan ke badannya. Mengapa dia tidak membawa jaket seperti kawan-kawannya? Mungkin karena dia tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya kacau. Yang ada dalam pikirannya hanyalah wajah gadis yang terbunuh itu dan fakta bahwa dia melihat hantunya. Hantu itu mencoba membunuhnya.
Maggie mencari-cari Dawn di antara siswa-siswa yang mengerumuni Mrs. Harrison. Dia melihat Dawn sedang mengawasinya. Matanya berapi-api.
Apa salahku? tanya Maggie pada diri sendiri. Apa masalah Dawn?
"Baiklah," kata Mrs. Harrison. "Seperti kalian lihat, ada tiga terowongan berbeda yang bercabang dari mulut gua. Jangan cemas, terowongan-terowongan itu berhubungan. Tapi di belakang sana kalian bisa tersesat berputar-putar. Jadi sebaiknya jangan berpencaran. Oke, sekarang kalian berkumpul menurut kelompok masing-masing, satu kelompok empat orang. Selamat menyusuri lorong-lorong gua. Kita bertemu di luar setengah jam lagi."
Sekelompok empat orang? Maggie memandang berkeliling. Rasa panik tiba-tiba menyerangnya.
Kapan kelompok itu ditentukan? Pasti Jumat minggu lalu.
"Kau ikut kami," Deena Martinson memberitahunya.
"Oh, terima kasih," kata Maggie lega.
"Lewat sini," seru Deena, mengajaknya masuk ke kegelapan yang merupakan bagian belakang gua yang luas itu. Maggie mengikutinya dengan patuh.
Di depan, seorang anggota kelompok mereka, kawan Deena yang bernama Jade Smith, berseru, "Wah! Dindingnya licin dan berlendir!"
Maggie harus membungkuk agar kepalanya tidak membentur atap lorong yang basah dan permukaannya kasar.
Dinas Pertamanan telah memasang beberapa lampu untuk menerangi lorong. Anggota lain kelompok itu membawa senter. Hanya Maggie yang lupa tidak membawa.
Namun, bahkan dengan senter pun suasananya tetap menyeramkan. Semakin jauh ke dalam, udara semakin dingin.
"Ingatkan aku untuk tidak jadi ahli geologi," gumam Maggie.
"Moga-moga tak ada kelelawar," kata Deena.
Akhirnya lorong itu membelok ke ruang yang lebih luas. Maggie menghentikan langkahnya. Suara apa itu yang bergetar seperti kepak sayap?
"Kelelawar diharap bersikap sopan," bisik Jade.
"Ada yang sudah mengingatkan mereka?" balas Deena.
"Lihat!" Deena menunjuk. "Ada puluhan lorong yang keluar dari ruang ini."
Maggie terpeleset, nyaris jatuh. Tiba-tiba kepalanya pening. Dia menyandarkan badannya ke dinding, hanya sebentar, sambil memegangi kepala sampai rasa peningnya hilang.
Ketika mengangkat matanya lagi, dia melihat relung gua itu sudah kosong. Kawan-kawannya sudah melanjutkan perjalanan tanpa dia.
Mendengar suara-suara mereka di depan sana, dia langsung masuk ke mulut lorong terdekat.
Dia bergerak secepat mungkin, merunduk rendah-rendah, melangkah hati-hati di atas batu-batu yang berserakan. Lorong itu bercabang-cabang. Dia mencoba mengikuti suara kawan-kawannya sekelompok.
Tetapi, tak lama kemudian Maggie sadar bahwa dia tidak mendengar lagi suara-suara di depannya. Dia juga tidak mendengar suara di belakangnya.
Dia membelalak memandang lorong yang gelap dan sempit itu.
Oke, kata Maggie pada diri sendiri, tenang... tenang...
Ikuti saja lorong ini. Kau pasti akan sampai ke ujungnya dan...
"Oh!" Dia tersentak ketika rasanya melihat dinding lorong bergerak menyempit.
"Tidak!"
Persis seperti dalam mimpinya.
Miranda di lorong yang gelap. Berlari. Berlari.
Tidak. Tidak. Ini bukan mimpi.
Mimpi itu tak mungkin menjadi kenyataan, dia meyakinkan dirinya sendiri.
Ambil napas dalam-dalam. Kemudian, berbalik dan kembali ke arah datangmu tadi. Tapi, dari lorong yang mana tadi?
Dia kehilangan arah.
Lorong yang mana? Yang mana? Yang mana? Dia tidak bisa melihat apa-apa, sekelilingnya gelap gulita.
Kemudian dia mendengar langkah kaki. Di belakangnya.
Maggie maju beberapa langkah ke arah detak langkah itu. Kemudian dia berhenti. Detak langkah itu terus mendekat.
Ini bukan mimpi, katanya pada diri sendiri.
Ini bukan mimpi.
Detak langkah itu semakin dekat. Semakin dekat.
"Siapa... siapa ya?" tanya Maggie dengan suara bergetar.
Chapter 18
TAK ada jawaban.
Maggie bisa mendengar bunyi napas lirih, bunyi itu dipantulkan dinding-dinding lorong yang sempit.
Semakin dekat.
"Siapa?" ulang Maggie, rasa ngeri membuat suaranya tinggi melengking.
Tetap tak ada jawaban.
Dengus napas itu semakin keras. Detak langkah menginjak bebatuan. Semakin dekat. Semakin dekat.
Tercekik oleh rasa takutnya, Maggie berbalik, cepat-cepat menjauhi suara itu dan memaksa dirinya berlari.
Di sela detak sepatunya sendiri, dia bisa mendengar pengejarnya juga mulai berlari. Dia tidak bisa menghindarinya lagi.
Dia dikejar!
Persis seperti Miranda. Persis seperti dalam mimpinya.
"Aduh!" Lututnya tergores pada sesuatu yang menonjol di dinding lorong. Rasa sakit menyebar ke sekujur tubuhnya, tetapi dia terus berlari.
Kemudian, sebelum menyadarinya, dia sudah berteriak-teriak minta tolong. Suaranya penuh kengerian.
Dia berlari menembus kegelapan. Mimpi itu menjadi nyata. Hidupnya telah berubah menjadi mimpi.
Belum jauh dia berlari. Kakinya terantuk batu, dan dia jatuh terjungkal.
Dia bisa mendengar langkah kaki itu memburu semakin dekat.
Ketika dia berusaha berdiri, lulutnya gemetar karena sakit.
Dia membelok di tikungan dan langsung menabrak dinding. Tangannya menyentuh sesuatu yang basah dan berlendir.
Kemudian dia mendengar bunyi kepak sayap di atasnya, seperti ratusan payung mungil yang serentak dibuka.
Sesuatu menerpa wajahnya. Sesuatu yang berbulu. Dia menjerit!
"Tolong! Oh, tolong! Keluarkan aku dari sini! Keluarkan aku!"
Lorong itu bergema oleh bunyi ribuan sayap yang dikepak-kepakkan.
Detak langkah itu terus mendekat.
Sambil menjerit minta tolong, Maggie lari ke arah lain, kembali membentur dinding lain yang basah dan dingin.
Lorong itu buntu.
Dia sadar, dia terjebak.
Chapter 19
MAGGIE menekankan punggungnya ke dinding, seakan berharap bisa menembus dinding batu itu.
Langkah-langkah itu terus mendekat.
Karena ngeri luar biasa, Maggie jatuh berlutut.
Dia menyimak baik-baik, terlalu takut bergerak. Setiap saat, dia tahu penyerangnya akan muncul dan pisau itu akan menghunjamnya dari balik kegelapan.
Sekarang!
Atau...
Sekarang!
Tapi tak terjadi apa-apa.
Sambil menghela napas berat, dan dengan pinggang kesakitan, dia berdiri kembali.
Mimpi itu menjadi kenyataan, pikirnya lagi. Dan aku hidup di dalam mimpi.
Kemudian dia mendengar detak langkah lagi, sangat dekat. Dia menekankan punggungnya ke dinding, tak berdaya.
Langkah itu berhenti. Seberkas cahaya.
Pisau itu?
Bukan. Cahaya senter menerangi wajahnya. "Mags?" suara seorang pemuda, tidak jelas, terbungkus udara yang pekat dan lembap. Cahaya senter mengenai matanya.
"Hei, kau baik-baik saja?"
Maggie merasa ada tangan kuat meraih lengannya, menariknya berdiri.
"Justin?"
"Maggie, mengapa kau lari?" dia bertanya sambil terengah-engah, masih memegangi lengan gadis itu. "Aku mencarimu. Aku memanggil-manggilmu."
"Aku nggak dengar. Aku cuma dengar langkahmu," kata Maggie, masih gemetaran.
"Semua sudah di luar, menunggu di bus," kata Justin. "Kau tak ada, jadi..."
"Aku tersesat," kata Maggie sambil menyandarkan badannya ke tubuh pemuda itu.
"Semua mencemaskanmu," kata Justin. "Ayo kita keluar."
Maggie memegang lengan Justin erat-erat sementara pemuda itu membimbingnya keluar dari lorong-lorong gua. Maggie mendengar kepak sayap-sayap kelelawar. Dia menahan napas, terus melangkah.
"Ku... kupikir kau pembunuh itu," gagapnya.
"Pembunuh apa?"
"Dalam mimpiku itu."
Begitu mengucapkannya, Maggie langsung menyesal. Dia bisa merasakan otot-otot Justin menegang.
Raut wajah Justin mengeras. "Maggie, jangan bicarakan mimpimu lagi," gumamnya.
Maggie berhenti di dekat salah satu lampu yang dipasang pada dinding gua yang licin berlendir. Cahaya menyeramkan yang dipancarkan bola lampu telanjang itu membuat wajah Justin yang biasanya tampan tampak seperti tengkorak. "Sori," bisik Maggie.
Mereka menyusuri lorong-lorong gua tanpa berkata-kata.
***************
Maggie melangkah cepat di trotoar. Dia tidak sadar mengapa merasa seperti diburu-buru. Tak ada alasan untuk cepat-cepat sampai ke rumah.
Satu hari sudah lewat. Dia tidak melihat hantu itu lagi, dan sudah tidak mendapat mimpi itu. Tetapi rasa takut selalu mengusiknya, di dalam rumah tuanya yang seram, malam hari di ranjangnya yang berkanopi. Dia tidak ingin bicara dengan siapa pun, tidak ingin bertemu siapa pun.
"Maggie!" seseorang memanggilnya dari belakang.
Maggie mempercepat jalannya, pura-pura tidak mendengar.
"Hei, Mags! Pelan dikit dong!" Justin menyusul di sampingnya, berlari-lari kecil menjajarinya. "Pelan dikit dong! Ada apa sih?"
Mengapa Justin berpura-pura tak ada masalah di antara mereka? Justin sama sekali tidak bicara dengannya sejak peristiwa di gua kemarin.
"Tak ada apa-apa," gumam Maggie sambil mempercepat langkahnya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Justin.
"Maksudmu aku gila?" tanya Maggie tajam.
Justin seperti tersengat. Dia meraih bahu Maggie dan memaksanya berhenti berjalan. "Aku mencarimu di sekolah tadi, tapi kau tak ada. Aku jadi kuatir."
"Aku ke dokter," kata Maggie.
"Ke dokter? Kau sakit?"
"Sakit di kepala," gumam Maggie pahit.
"Kau pergi ke psikiater?"
Maggie mengangguk.
Dr. Brenda Marsh seorang psikiater yang bicaranya lembut, usianya empat puluh tahunan. Mrs. Travers beberapa kali berkonsultasi dengannya setelah suaminya meninggal. Ia mengatakan dokter itu sangat banyak membantu. Tetapi sejauh yang diketahui
Maggie dan Andrea, yang dilakukan psikiater itu hanyalah mengatakan kepada ibu mereka bahwa wajar jika Mrs. Travers merasa tertekan dan memberinya obat penenang berkadar ringan untuk membuatnya bisa tidur.
Maggie heran ketika merasakan sendiri betapa melegakannya bisa bicara dengannya. Brenda memiliki senyum yang ramah dan mata yang penuh simpati. Dia tidak kaget mendengar apa pun yang diceritakan Maggie. Bahkan ketika Maggie mengatakan bahwa dia menganggap gadis yang dibunuh itu, Miranda, mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam.
"Saya tahu, kedengarannya ini sinting," cetus Maggie menjelang akhir kunjungannya, "tapi saya pikir itu karena Miranda sudah mati. Sekarang dia ingin agar saya juga mati."
"Mimpi bisa membuat kita sangat kesal," kata Dr. Marsh lembut. "Mimpi juga menjadi kunci penting yang bisa menunjukkan apa yang sebenarnya kita pikirkan. Aku ingin kau datang lagi dan bicara denganku minggu depan. Setuju?"
Maggie mengangguk. "Tentu, saya akan da¬tang lagi."
"Apakah psikiater itu berhasil menemukan masalahmu?" tanya Justin ketika mereka melewati The Corner, tempat mangkal anak-anak sekolah yang saat itu penuh dengan siswa-siswa Shadyside.
Maggie menggeleng. "Menurut dia, mimpi itu tentang sesuatu yang lain, sesuatu yang mengganggu pikiranku."
"Oh," kata Justin.
Maggie tahu masalah itu membuat Justin merasa tidak enak. Dia juga tahu masalah itu merenggangkan hubungan mereka. "Apakah aku masih akan bertemu denganmu lagi?" tanyanya mendesak.
Justin menjawab tanpa ragu, "Bagaimana kalau besok malam?" Dia tersenyum kepada Maggie, dan merapatkan badannya. "Pertama-tama, kau harus memenangkan pertandingan dua ratus meter itu. Setelah itu, kau dan aku akan merayakannya."
"Pertama-tama, aku harus menang," kata Maggie, keningnya berkerut.
"Kau pasti menang," Justin meyakinkan. "Aku yakin." Dia melingkarkan lengannya di pinggang Maggie dan memeluknya.
Sungguh menyenangkan berada dalam pelukannya lagi. Maggie meletakkan kepalanya di bahu Justin. Sesaat, dia lupa akan segala masalahnya.
Sesaat, sepertinya tak sesuatu pun bisa mencelakakannya.
Hanya sesaat.
Kemudian, matanya beralih ke balik punggung Justin, dan ada yang membuatnya tersentak.
Berdiri di seberang jalan. Di trotoar, di depan pagar tanaman. Miranda.
Miranda. Hantu itu. Berdiri di sana. Mengawasi mereka.
Justin pasti merasakan badannya menegang, karena dia melepaskan pelukannya.
Maggie tidak bisa memutuskan apa yang akan dilakukannya. Dia ingin berteriak, menunjukkan kepada Justin bahwa Miranda benar-benar ada.
Dia ingin lari mengejar Miranda. Menariknya. Memegangnya. Menunjukkan kepada siapa saja bahwa dia, Maggie, tidak gila.
Tetapi apa yang akan terjadi kalau dia mengatakan itu kepada Justin?
Satu lagi episode "gila"—dan Justin pasti akan memutuskan hubungan.
Dia memandang hantu berambut pirang pucat yang kemilau disinari matahari sore.
Dia harus menceritakannya kepada Justin. Dia harus menunjukkannya kepada Justin.
"Justin!" seru Maggie. "Lihat! Di seberang jalan! Itu dia! Itu hantunya! Gadis dari mimpiku! Lihat!"
"Hah?" Justin berbalik, mengikuti mata Maggie yang memandang pagar tanaman di seberang jalan.
Tak ada siapa-siapa di sana.
Chapter 20
MAGGIE menjerit karena frustrasi dan berlari cepat ke seberang jalan.
Tak ada jejak Miranda.
Dia mencari-cari di balik pagar tanaman. Dia berlari sampai setengah blok berikutnya.
Miranda sudah menghilang. Menghilang seperti hantu.
"Maggie!" Justin mengejarnya, wajahnya mengeras.
"Nanti saja!" seru Maggie sambil melambaikan tangan, memberi isyarat agar Justin tidak menyusulnya. Dia tidak berniat bertengkar dengan Justin di situ, saat itu. Dia tak sanggup. Sungguh dia tak sanggup.
Dia tak tahan berada bersama orang yang menganggapnya gila. Tak peduli apa kata Justin, Maggie tahu apa yang dipikirkan pacarnya itu.
Dia berputar-putar di kawasan dekat sekolahnya dengan kepala tertunduk, nyaris tidak memperhatikan lalu lintas ketika menyeberang jalan beberapa kali. Setiap beberapa blok dia mengangkat kepalanya, berharap bisa melihat hantu itu lagi.
Tetapi Miranda tidak ada.
Setelah berputar-putar tanpa tujuan, pukul lima lewat barulah Maggie sampai di rumah. Ketika dia masuk ke ruang tamu, Andrea sedang keluar dari dapur, membawa kentang goreng yang panas mengepul.
"Hei, Maggie!" sapanya santai. Andrea mengenakan celana superpendek warna hijau dan kaus ketat warna jingga. Telinganya
mengenakan sepasang anting-anting gipsi dari emas. Itu anting-anting Maggie.
"Kau tak keberatan, kan?" kata Andrea riang sambil menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, membuat anting-anting itu bergoyang-goyang. "Sore ini aku merasa harus dandan sedikit."
Maggie tidak berminat bertengkar denga¬nya. "Mana Mom?" tanyanya datar.
"Di kebun belakang. Keluarga Avery mengundang kita makan-makan di luar."
"Asyik," gumam Maggie tanpa semangat.
Setelah meletakkan tas punggungnya di meja di lorong, dia menyusul Andrea ke kebun belakang. Tepat di balik pagar tanaman, dia melihat topi oranye yang sudah dikenalnya. Mr. Avery sedang berdiri di depan pemanggang. Dengan cekatan dia membalik-balik burger dengan spatula dari metal. Ketika melihat Maggie, dia melambaikan spatula-nya.
Gus diikatkan ke pohon birch milik keluarga Avery dengan tali panjang. Anjing itu menyalak-nyalak penuh semangat begitu melihat Maggie.
Dengan segelas es teh di tangannya dan topi jerami di kepalanya, Mrs. Travers berdiri sambil mengobrol dengan Mrs. Avery.
Dia melingkarkan sebelah lengannya ke bahu Maggie, ketika gadis itu berdiri di sampingnya. Mrs. Travers meremas bahunya. "Telingamu bisa gatal," kata ibunya, "jika kaudengar pujian-pujian yang dikatakan Mrs. Avery tentang kau."
Wajah Mrs. Avery menjadi cerah.
"Kau," lanjut Mrs. Travers, "yang memperkenalkan kita ke tetangga kita yang baru. Maggie memang yang paling ramah di keluarga kami," katanya kepada tetangganya. "Entah dari mana
dipelajarinya itu. Saya membutuhkan waktu lama sebelum bisa benar-benar berkawan..." Kata-katanya terputus.
Dari sorot matanya, Maggie tahu, ibunya merindukan ayahnya.
Andrea dan Mr. Avery tertawa keras. Maggie memandang mereka. Mereka seperti dua sahabat lama. "Makanan sudah siap," kata Mr. Avery sambil mengulurkan sepiring burger kepada Andrea.
"Ini cukup untuk saya," Andrea bercanda sambil menerima piring berat itu, "tapi yang lain-lain mau makan tidak?"
Semua tertawa kecuali Maggie.
Mereka duduk di sekeliling meja piknik di kebun belakang lalu mulai makan. Mrs. Avery telah menyiapkan satu karaf limun merah jambu yang kelihatannya segar sekali, sayang rasanya terlalu asam. Dia pasti lupa menambahkan gula.
Andrea memimpin pembicaraan. Dengan riang dia bercerita tentang sekolahnya, pertandingan renang besok, dan film yang ingin ditontonnya. Mrs. Travers berusaha melibatkan Maggie dalam obrolan mereka. Tetapi Maggie menjawab semua pertanyaan dengan jawaban satu kata.
Bahkan itu pun sulit dilakukannya. Satu-satunya yang terus-menerus dilakukannya adalah menepuk-nepuk Gus yang duduk di bawah meja, dekat kakinya.
"Maggie, sore ini kau pendiam sekali," kata Mrs. Avery sambil memandangnya penuh tanya.
"Maaf," sahut Maggie, berusaha keras tersenyum. "Saya hanya..." Dia tidak bisa menemukan alasan yang bagus.
"Dia sangat cemas, takut saya kalahkan di pertandingan besok," kata Andrea menyombong, tangannya terulur ke seberang meja, mengambil kentang goreng. "Cobalah, Mr. Avery," katanya, "kentang goreng buatan saya pasti lezat sekali!"
Semua tertawa. Maggie belum pernah melihat Andrea seriang itu. Seolah-olah, semakin sedih dan kesal Maggie, semakin senanglah Andrea. Seakan-akan di rumah mereka kebahagiaan hanya cukup untuk satu orang.
Ibunya berkali-kali meliriknya. Maggie tahu apa yang dipikirkan ibunya. Kunjungan sekali kepada Dr. Marsh pasti tidak cukup.
Mom pikir aku gila. Andrea pikir aku gila. Pacarku pikir aku gila. Tak mungkin mereka semua salah, Maggie menyimpulkan dengan murung. Mungkin aku memang gila!
Dia hampir tidak mendengar percakapan mereka.
Dia terus-menerus membayangkan Miranda, berdiri seperti hantu, memandangi Maggie dan Justin dari dekat pagar tanaman. Lalu menghilang begitu saja.
Dia membayangkan ranjang berkanopi itu. Ranjang berkanopi yang cantik, yang hanya memberinya kengerian.
Kengerian yang melumpuhkan saraf.
Kengerian itu dan... jawabannya?
Apakah ranjang itu menyimpan jawaban untuk semua ini?
Apakah ada sesuatu di balik mimpi itu? Maggie menduga-duga. Jika aku bisa menyelesaikan mimpi yang mengerikan itu... jika aku bisa melihat wajah si penyerang, seperti aku melihat wajah Miranda... apakah semuanya akan menjadi jelas bagiku?
Aku cukup letih untuk tidur sekarang, Maggie memutuskan.
Aku harus menyelesaikan mimpi itu. Aku harus mengenyahkan mimpi itu untuk selamanya
"Aku mau ambil minuman lagi," dia berbohong sambil bangkit berdiri.
Semua memandangnya. Ibunya berdiri dengan wajah cemas.
"Aku hanya mau ke kulkas, Mom," kata Maggie. "Tenang saja."
Dia tersenyum kepada mereka, tetapi senyumnya aneh dan dipaksakan... Dia benar-benar merasa dirinya sudah gila.
Kemudian dia membungkuk dan berbisik ke telinga ibunya. "Aku ingin berbaring, aku letih sekali. Dr. Marsh menasihatiku agar banyak tidur. Mom, tolong aku, ya?"
Dia menepuk lengan ibunya lalu bergegas pergi.
Di dapur, dia minum susu banyak-banyak, langsung dari kotak pembungkusnya. Susu selalu membuatnya tenang, bahkan susu dingin sekalipun.
Dia menaiki tangga, dua anak tangga sekaligus, menuju ke kamar tidurnya.
Aku akan tidur. Aku akan bermimpi, katanya pada diri sendiri.
Aku takkan bangun sebelum tahu jawaban misteri ini.
Aku takkan bangun sebelum mimpiku selesai. Dengan begitu mungkin... mungkin... mimpi buruk yang nyata sekali ini mungkin akan berakhir juga.
Dengan penuh tekad Maggie menyeberangi lorong ke kamarnya, lalu mendorong pintunya hingga membuka....
Dia melihat ranjang berkanopi itu sudah lenyap.
Chapter 21
"HAH?" Maggie ternganga kaget.
Hilang. Lenyap.
Ranjang itu tak ada.
Sebagai gantinya, ada ranjang biasa dengan kerangka metal dan kasur berpegas, dengan seprai merah jambu dan kain afghan putih sebagai penutupnya.
Masih di ambang pintu kamarnya, dia mendengar pintu belakang dibanting menutup. Disusul detak langkah menaiki tangga depan.
Andrea muncul di lorong, wajahnya nyengir menyembunyikan sesuatu. "Mom belum bilang padamu?" tanyanya. "Kata Dr. Marsh, ranjang itu tak baik untukmu, membuatmu terobsesi."
"Tapi aku membutuhkannya!" jerit Maggie, merasa dirinya kehilangan kendali. Dia mencengkeram bahu Andrea. "Di mana ranjang itu? Mom apakan ranjang itu?"
Dia sudah tahu jawabannya, bahkan ketika sedang mengucapkan pertanyaannya. Maggie menerjang Andrea, lalu masuk ke kamar adiknya. Dia yakin akan menemukan ranjang itu di sana.
Tetapi di kamar itu hanya ada ranjang Andrea yang sudah tua dan teddy bear-nya yang dibaringkan di bantal. Seperti biasa.
"Mana ranjang itu?" pekik Maggie. "Mana ranjang itu? Kauapakan ranjang itu?!"
"Aku tak menyentuh ranjang konyolmu itu," jawab Andrea sinis. "Mom memindahkannya ke loteng. Mom memanggil tukang angkut barang. Mr. Avery membantunya."
Loteng?
Maggie tahu rumah itu ada lotengnya, tetapi dia belum pernah naik ke sana.
Dia mendorong Andrea ke samping dan melewatinya, bergegas menyusuri lorong. "Mana pintu ke loteng?" tanyanya ketus.
Andrea menunjuk ke langit-langit. "Itu yang kaucari," katanya.
Maggie memandang langit-langit. Untuk pertama kalinya dia melihat seutas tali pendek terjurai dari kaitan logam. Ada pula celah berbentuk segiempat di langit-langit itu. Pintunya.
"Tangganya harus ditarik ke bawah," kata Andrea. "Tapi, kau tak boleh naik ke sana. Mom pasti akan marah sekali."
"Aku tak peduli Mom marah atau tidak," bentak Maggie.
"Dengar, Maggie," kata Andrea. "Mom menyuruhku memanggilmu. Mrs. Avery membuat chocolate pie, karena Mom bilang itu kue kesukaanmu. Kau harus kembali ke sana, meskipun cuma sebentar." Maggie bersandar ke dinding sambil mendengus.
Ranjang itu harus menunggu.
Andrea mencolek lengan kakaknya. "Ayo, Maggie. Mom pasti cemas."
Gula yang tidak ditambahkan ke dalam limun oleh Mrs. Avery dicampurkan ke dalam chocolate pie itu. Kuenya manis sekali. Gigi Maggie ngilu karenanya!
Namun dia tetap tersenyum dan berhasil menghabiskan kue itu.
**************
Begitu membaringkan diri di ranjang baru itu, Maggie langsung tertidur—atau, begitulah kelihatannya.
Ketika dia membuka matanya lagi, ruangan itu gelap dan sunyi. Dia menyipitkan mata, melihat weker. Ketika dia mengamati weker itu, angkanya berubah tanpa bunyi: 03.21.
Dia menurunkan kakinya ke lantai.
Seisi rumah pasti tidur, dia yakin.
Suasana aman. Maggie bisa naik ke loteng diam-diam, naik ke ranjang berkanopi itu, dan mencoba menyelesaikan mimpinya.
Siapa yang membunuh Miranda? Siapa? tanyanya pada diri sendiri sambil berjingkat-jingkat ke pintu kamarnya.
Diam-diam dia keluar dari kamarnya, ke lorong, selangkah demi selangkah, dengan sangat hati-hati menginjak lantai kayu agar tidak berderik.
Barulah ketika sampai di ujung lorong, Maggie menyadari kesalahannya. Meskipun tubuhnya jangkung, dia tak bisa meraih tali yang terjurai dari langit-langit itu.
Dia harus mencari kursi.
Oh, jangan sampai mereka terbangun! dia berdoa dalam hati.
Beberapa detik kemudian, dengan hati-hati dia meletakkan kursi itu lalu menaikinya. Moga-moga saja Gus tidak bangun dan mengendus-endus. Kalau Gus menyalak, ibunya dan Andrea pasti akan terbangun.
Pintu di langit-langit itu cukup lebar, tangga kayu lipat pelan-pelan membuka ke bawah ketika dia menarik talinya. Meskipun dia sudah berhati-hati, sambungan-sambungan tangga tetap saja berderik ribut.
Maggie mengusap keringat dari keningnya. Setiap beberapa tarikan, dia berhenti dan menyimak kalau-kalau ada suara dari kamar ibunya.
Akhirnya tangga loteng itu menyentuh lantai. Sambil membungkuk dia memanjat, satu anak tangga... satu derik nyaring... Satu per satu.
Dia masuk ke ruang mungil yang dindingnya miring mengikuti bentuk atap rumah. Kasau-kasaunya rendah sekali. Maggie terpaksa merunduk. Satu-satunya jendela di situ kecil dan tertutup debu tebal, sehingga cahaya bulan tampak samar-samar.
Tapi dia bisa melihat dengan jelas—ranjang itu, dirapatkan ke dinding di ujung ruangan. Kanopinya menyentuh langit-langit yang rendah.
Jantung Maggie berdegup kencang ketika dia melangkah mendekatinya.
Apakah aku nanti bisa tidur? dia menduga-duga sambil mendekat.
Apakah aku bisa kembali ke dalam mimpi itu?
Apakah aku bisa memecahkan misteri mengerikan ini untuk selamanya?
Maggie berhenti beberapa langkah dari ranjang itu... dan tercengang ketika melihat seseorang tidur di sana.
Chapter 22
MAGGIE mendekat dengan kaki gemetar.
Bayang-bayang lebih gelap di sekeliling ranjang itu. Kanopinya mengakibatkan ranjang itu lebih gelap lagi.
Namun Maggie langsung mengenali gadis yang sedang tidur itu. Miranda!
Aku memandang hantu! Maggie sadar.
Dia bisa mendengar napas Miranda yang lembut dan teratur.
Maggie melangkah maju, semakin dekat, lalu mengulurkan tangannya.
Aku cukup dekat untuk menyentuhnya. Aku akan menyentuh hantu. Apakah aku akan bisa merasakan sesuatu?
Tangannya menyentuh bahu Miranda. Maggie merasakan kulitnya yang hangat di balik T-shirt tipis.
"Hei..." Miranda langsung terduduk; matanya melotot marah. Dia turun dari ranjang.
Maggie menjerit kaget dan terlompat mundur.
Dada Miranda yang rata naik-turun seirama dengan napasnya yang memburu, matanya menatap Maggie dengan marah, menembus kegelapan. Mata itu liar dan membara.
Dia maju selangkah mendekati Maggie. Maggie mundur. Tapi dia terpojok. Punggungnya menyentuh dinding miring yang rendah. "Kau... kau benar-benar hantu?" tanya Maggie dengan suara tercekik.
Miranda tidak menjawab. Dia malah membungkuk dan mengambil sesuatu dari bawah ranjang.
Pisau itu!
Bilahnya berkilat di bawah cahaya bulan pucat yang menembus lewat jendela berdebu. Persis seperti dalam mimpi, pikir Maggie. Miranda mengangkat pisau itu.
Sambil menjerit putus asa, Maggie menerjang ke depan. Dia mencengkeram lengan gadis itu. Mereka bergumul.
"Kau... kau nyata!" seru Maggie. "Kau bukan hantu!"
Miranda melepaskan diri dari cengkeraman Maggie. Napasnya terengah, dia mundur selangkah.
Dengan gugup Miranda mencari jalan keluar. Tapi Miranda berdiri di antara Maggie dan tangga ke bawah. Maggie terjebak. Tak bisa melepaskan diri.
"Aku mimpi tentang kau, Miranda!" seru Maggie.
Mata gadis itu terbelalak kaget.
"Aku mimpi tentang kau. Setiap malam. Di ranjang ini," Maggie melanjutkan. "Ada orang menikammu. Mengerikan sekali. Aku..."
Gadis itu tertawa. Tawanya aneh, hampa, mengerikan. "Ada orang menikam Miranda," katanya. "Miranda yang malang."
"Hah?" Maggie ternganga tidak mengerti. "Apa katamu? Kau bukan Miranda?"
Gadis itu menggeleng. Rambut panjangnya bergerak-gerak menutupi wajahnya.
"Tapi dalam mimpi itu...," kata Maggie.
"Miranda harus mati," potong gadis itu. "Miranda kejam... seperti kau!"
"Seperti aku? Aku... aku tak mengerti," Maggie tergagap-gagap., "Siapa yang membunuh Miranda? Kau?"
Gadis itu mengangguk. "Mungkin," sahutnya lirih, matanya menatap mata Maggie dengan sengit. "Mungkin aku harus membunuh Miranda karena Miranda kejam."
"Tapi siapa kau?" desak Maggie.
"Gena," jawab gadis itu. "Apakah aku ada dalam mimpi itu?"
"Aku... aku tak tahu," jawab Maggie. Dia beringsut-ingsut mendekati tangga ke bawah.
"Aku adik Miranda," geram gadis itu dengan marah. "Mengapa aku tak ada dalam mimpi itu?"
"Aku tak tahu. Sungguh!" ulang Maggie sambil menelan ludah dengan susah payah.
Tenggorokannya kering dan kasar seperti debu loteng. "Aku tak mengerti arti mimpi itu, Gena."
"Aku mengerti," sahut gadis itu ketus. "Miranda selalu bilang dia punya kekuatan gaib. Miranda membuatmu mendapat mimpi itu. Miranda ingin memperingatkanmu tentang aku. Miranda sangat kejam."
Maggie beringsut semakin dekat ke tangga. "Kau membunuhnya, Gena? Kau menikam kakakmu?"
Gena mengangkat pisau itu. "Aku harus membunuhnya. Aku sudah bilang. Miranda itu kejam... seperti kau."
"Tapi aku tak kejam, Gena. Sungguh!" seru Maggie karena melihat amarah membara di mata gadis itu.
"Kau akan mengunci dan mengurungku lagi, ya kan?" tuduh Gena. "Kau akan mengurungku di rumah sakit abu-abu itu. Tapi kau tak bisa, Maggie. Tak bisa! Aku kabur. Aku tak mau balik ke sana!"
"Kapan?" tanya Maggie, berusaha keras membuat gadis itu terus bicara. "Kapan kau keluar dari sana?"
"Tepat sebelum kau pindah ke sini," sahut Gena. "Aku pulang ke rumahku. Tapi semua sudah pergi. Jadi aku terpaksa tinggal di sini."
"Di loteng ini?"
Gena mengangguk.
"Selama ini kau tinggal di sini?"
Gena mengangguk lagi. "Sepanjang hari rumahmu kosong. Aku sendirian di sini. Makanku tak banyak, tak ada yang merasa kehilangan jika aku mengambil makanan dari kulkas. Lagi pula kalian meletakkan kunci-kunci sembarangan—jadi gampang sekali membuat tiruannya. Aku bisa keluar-masuk sesukaku."
Mendadak dia menerjang maju.
Dia menjambak rambut Maggie dan menariknya kuat-kuat, tenaganya luar biasa.
"Aduh! Lepaskan!" jerit Maggie, mencoba membebaskan diri.
Tetapi Gena membuatnya kehilangan keseimbangan.
Maggie jatuh terjengkang.
Masih menjambak rambut Maggie, Gena menarik kepala gadis itu ke belakang, membuat leher Maggie tak terlindung.
Gena mengangkat pisau.
Gadis itu sedang mengangkat pisaunya tinggi-tinggi saat mereka mendengar langkah-langkah bergegas menaiki tangga loteng.
"Hei!" Wajah Andrea yang kaget muncul dari lubang pintu.
"Hai, Andrea," kata Gena santai, seakan mereka sudah lama saling kenal. "Aku akan membunuh kakakmu demi kau sekarang."
Chapter 23
GENA menarik rambut Maggie kuat-kuat, ke belakang, sampai kepala Maggie tersandar ke pinggir ranjang. "Aku siap, Andrea," katanya mengumumkan.
"Andrea!" jerit Maggie ngeri. "Kau... kau merencanakan ini dengannya?"
Andrea masuk ke kamar itu. "Tunggu...," katanya lirih.
"Benarkah kau sedemikian membenciku?" jerit Maggie.
"Tunggu!" bentak Andrea lebih keras sambil mendekati mereka. Langkahnya membuat lantai kayu berderak. "Siapa kau?" tanya Andrea kepada Gena. "Lepaskan dia!"
"Tapi aku melakukannya demi kau, Andrea," kata Gena, suaranya terluka. "Dia kejam padamu. Dia kejam... seperti Miranda."
"Demi aku?" jerit Andrea. "Apa yang kaulakukan demi aku?"
"Aku melakukan semuanya demi kau," jawab Gena lirih.
"Maggie... aku belum pernah melihat dia!" kata Andrea keras. "Tidak pernah! Kau harus mempercayaiku!"
"Hentikan dia!" Suara Maggie tercekat, matanya nanar menatap pisau itu.
Gena menjambak rambutnya lebih kuat, membuat kepala Maggie terantuk ke ranjang. Rasa sakit menyebar ke sekujur tubuh Maggie, melumpuhkannya.
"Hentikan dia, Andrea! Jangan biarkan dia membunuhku!" Maggie memohon.
"Aku melakukan semuanya demi kau, Andrea," Gena melanjutkan, tidak memedulikan jeritan Maggie yang penuh
ketakutan. "Kulukai kedua gadis itu demi kau, supaya kau bisa masuk tim renang."
"Kau apa?" pekik Andrea.
"Oh, ya ampun," Maggie tergagap. "Dialah yang mencelakakan Dawn dan Tiffany. Aku tak percaya."
"Aku yang menikamkan pisau ke bantal kakakmu, Andrea," Gena mengakui dengan bangga. "Yah, untuk menakut-nakutinya. Untuk menyiapkan dia menghadapi malam ini."
"Tapi aku tak ingin membunuhnya!" jerit Andrea sambil menangis. "Siapa kau? Apa yang terjadi? Bagaimana kau bisa masuk ke rumah kami?"
"Diam, Andrea," kata Gena lirih.
Dia mengalihkan matanya kepada Maggie.
"Saatnya sudah tiba," desisnya. "Saatnya sudah tiba. Kakak yang kejam harus mati."
Sambil menjerit putus asa, Maggie mengulurkan tangannya dan mencengkeram tangan Gena, tangan yang menjambak rambutnya.
"Aduh!" teriak Gena ketika Maggie membenamkan kuku ke pergelangan tangannya.
Gena menarik tangannya, melepaskan rambut Maggie.
Dia mengayunkan pisau itu ke bawah... dengan kencang dan dengan sekuat tenaga. Maggie berguling menghindar.
Pisau itu menancap di kasur, satu inci dari pinggang Maggie.
Maggie berjuang menjauh dari ranjang itu.
Tapi Gena menindihnya, menghantamnya dengan tenaga yang luar biasa hingga kepala Maggie membentur kepala ranjang.
Persis kejadian dalam mimpi itu!
Pikiran itu terlintas di benak Maggie.
Mimpi seram itu... sekarang jadi kenyataan. Mereka bergumul di kasur. Gena terlalu kuat, terlalu nekat.
Dia mengayunkan pisaunya lagi.
Maggie menjerit ngeri ketika tiba-tiba semua jadi gelap.
Chapter 24
SEMUA jadi gelap.
Tapi Maggie sadar, dia masih hidup, masih bergumul dalam gelap. Pisau itu luput. Tidak mengenainya.
Dia berhasil terbebaskan dari cengkeraman Gena. Lalu berguling turun dari ranjang.
Kini Maggie tahu mengapa semua menjadi gelap.
Andrea menarik lepas kanopi itu untuk menutupi mereka.
"Cepat!" kata Andrea. "Maggie... cepat!"
Andrea memegangi satu sisi kanopi dan memberi isyarat kepada Maggie dengan gugup.
Maggie bereaksi cepat. Dia meraih sisi kanopi yang lain... lalu mereka memerangkap Gena dengannya.
Gena menendang-nendang, mencoba membebaskan diri.
Tangan yang memegang pisau itu terjulur ke luar.
Andrea mencengkeram pergelangannya, memaksa jari-jari itu membuka. Pisau itu terlempar ke lantai.
"Bungkus dia!" seru Maggie.
Berdua, kakak-beradik itu membungkus gadis yang meronta-ronta itu dengan kanopi.
"Apa-apaan...," seru Mrs. Travers dari tangga.
"Cepat panggil polisi! Cepat, Mom!" seru Maggie.
Mereka mendengar Mrs. Travers berlari ke telepon untuk menghubungi polisi.
Gena terbungkus rapat di dalam kanopi. Dia berhenti meronta-ronta dan berbaring diam di ranjang.
"Aku... kuharap kau bisa menjelaskan semuanya ini padaku," kata Andrea terengah-engah sambil menindih gadis itu.
"Kurasa aku bisa," kata Maggie, memaksa diri tersenyum. "Baru kali ini kupikir aku bisa menjelaskannya."
****************
"Mom pikir kakak Gena membuatku mendapatkan mimpi itu? Mom pikir dia mencoba memperingatkanku tentang Gena?" tanya Maggie.
Mrs. Travers meneguk kopinya. "Itu penjelasan yang masuk akal," jawabnya sambil merenung.
Maggie, Andrea, dan ibu mereka duduk mengelilingi meja dapur, menikmati kopi panas dalam mug putih. Polisi baru saja pergi dan menahan Gena. Dari jendela dapur mereka bisa melihat matahari pagi yang merah bulat mendaki cabang-cabang pepohonan.
"Gus benar-benar melindungi kita, ya?" kata Maggie sambil memutar-mutar bola matanya.
Mendengar namanya disebut, Gus masuk dari ruang tamu. Dia meletakkan kepalanya di paha Maggie.
Maggie menepuk-nepuk kepalanya yang hangat. "Kau anjing penjaga yang hebat, Gussie. Ya. Kau pembunuh sejati. Terima kasih telah memperingatkan kami ada orang yang diam-diam tinggal di sini selama ini!"
Gus memandangnya dengan tatapan penuh sayang, seakan dia mengerti pujian tertinggi itu ditujukan kepadanya.
Maggie tersenyum kepada Andrea. "Kau menyelamatkan nyawaku."
Andrea mengangkat bahu. "Yah... hanya itu yang bisa kulakukan."
"Kau boleh memiliki ranjang berkanopi itu sekarang," Maggie menawarkan, sambil tersenyum.
"Tidak, terima kasih. Kau yang punya," sahut Andrea.
"Tidak. Sungguh," Maggie berkeras. "Kau boleh memilikinya."
"Aku tak mau!" seru Andrea.
"Mungkin sebaiknya kita berikan pada Gus," usul Mrs. Travers. "Dia pantas mendapat mimpi buruk!"
"Boleh aku minta kasur air?" Andrea tiba-tiba bertanya kepada ibunya.
"Wah, kau bisa berlatih gaya dada sambil tidur!" goda Maggie.
"Gaya dadaku sudah sempurna," tukas Andrea tajam. "Cukup untuk mengalahkanmu!"
"Kejuaraan renang!" seru Maggie kaget. "Hari ini... padahal semalaman kita tak tidur!"
"Wah, mimpi buruk ini namanya!" seru Andrea.
"Tolong..." Maggie meletakkan tangannya di atas tangan adiknya. "Jangan pernah menyebut kata itu lagi di rumah ini."
"Mimpi buruk! Mimpi buruk! Mimpi buruk!" Andrea menyanyi-nyanyi.
"Dasar anak-anak," gumam Mrs. Travers sambil menggeleng-geleng.
Gus mengangguk, seakan setuju seratus persen.
"Selamat malam, semua," kata Maggie. Dia menaiki tangga dan menuju ke kamarnya. "Selamat malam... semoga mimpi indah." END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar